Mohon tunggu...
Mugi
Mugi Mohon Tunggu... Freelancer - Let me know if you have a time machine

Sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kutukan Pantai Viral (Bagian 2)

9 Juli 2024   20:20 Diperbarui: 10 Juli 2024   21:54 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nina, kita harus melakukan sesuatu. Aku rasa kita telah membawa sesuatu yang buruk dari hutan di dekat pantai itu," ucap Fajar begitu mengangkat teleponnya.

Mendengar hal itu, Nina pun sadar. Rupanya bukan hanya dia yang mendapat gangguan pasca berkunjung ke pantai viral itu. Maka, keduanya pun bersepakat untuk bertemu dan membicarakan permasalahan itu lebih lanjut.

*

Jam menunjukkan pukul 13 lebih beberapa menit. Tetapi, bukannya terik, langit malah muram. Hujan turun deras, dan petir sesekali menyambar. Di sebuah kafe dekat kampus, Nina masih duduk sendiri. Ia tampak memainkan ponsel sambil sesekali mengintip jam di tangan kirinyanya, gelisah karena Fajar belum juga datang.

Sekitar 20 menit kemudian, pintu kafe terbuka. Senyum Nina terkembang melihat bahwa sosok yang melintasi pintu itu adalah orang yang ia tunggu.

Fajar menatap sekitar sebelum melihat Nina di salah satu sudut kafe.

"Maaf aku terlambat. Hujan sangat deras tadi," katanya sembari duduk di kursi yang terletak di depan Nina.

"Ayo, langsung berangkat," lanjutnya.

Nina merasa heran dengan ucapan lelaki yang ada di depannya itu.

"Berangkat? Ke mana? Bukankah kita hendak membicarakan hal itu dulu?"

"Sudah, ayo."

Meski merasa janggal, Nina pun akhirnya mengikuti Fajar meninggalkan kafe. Keduanya menyusuri paving blok parkiran yang basah sebelum akhirnya melaju menembus gerimis di jalanan yang sepi.

Fajar menghentikan motornya di hutan kecil di pinggiran kota. Ia turun dan melangkah masuk ke dalam hutan. Mau tak mau, Nina pun mengikuti orang yang dikenalnya sejak bangku SMA itu.

Keduanya masuk semakin dalam ke hutan. Perasaan takut mulai merayapi Nina. Telinganya menangkap suara-suara aneh terdengar di sekelilingnya, seperti bisikan lembut yang tak ia mengerti.

"Fajar, kenapa kita ke sini? Bukankah lebih baik kita kembali ke kafe?" tanya Nina dengan suara gemetar. Fajar hanya tersenyum dan menggenggam tangannya erat-erat.

Setelah berjalan cukup jauh, keduanya tiba di sebuah pondok tua. Atapnya yang miring ditumbuhi lumut hijau gelap, memberikan kesan bahwa pondok itu telah lama ditinggalkan.

"Masuklah, Nina. Di sini kita bisa berbicara lebih banyak," kata Fajar dengan nada yang terdengar asing. Merasa ada yang tidak beres, tubuh Nina gemetar. Tetapi, kakinya seolah tak bisa menolak ajakan lelaki itu.

Mengikuti Fajar, Nina melangkahkan kakinya memasuki pondok usang dan rapuh itu. Dinding-dinding kayunya---yang dulunya mungkin berwarna cerah, tampak telah pudar dan retak di berbagai bagian, menunjukkan keroposnya usia. Beberapa papan dinding terlihat berlubang, menciptakan celah-celah yang cukup besar untuk hembusan angin dingin yang merayap masuk seolah membawa bisikan-bisikan samar yang membuat bulu kuduk merinding. Kaca-kaca jendelanya tak ada yang utuh, beberapa benar-benar berlubang, tampak seperti mata kosong yang tengah mengawasi, memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Nina.

Lantai pondok yang terbuat dari papan kayu berderit pelan saat Nina dan Fajar melangkah. Debu tebal menyelimuti setiap permukaannya menambah kesan terbengkalai dan terlupakan dari pondok itu. Tak lupa, sudut-sudut ruangan diselimuti oleh jaring laba-laba yang tebal, seolah sebuah perangkap yang tak bisa dihindari.

Pondok ini juga memiliki bau khas yang menyengat, perpaduan antara aroma kayu yang membusuk dan jamur yang tumbuh subur di kelembapan. Bau itu begitu kuat hingga seakan-akan menempel pada kulit, tak bisa dihilangkan.

Dari jendela, Nina melihat suasana di luar pondok tampak redup. Tampak kabut tebal menyelimuti hutan. Bayangan-bayangan pohon di sekitar tampak seperti tangan-tangan kurus yang mencoba meraih apa pun di sekitarnya. Dan cahaya matahari yang tak kunjung tampak makin memperjelas betapa sunyi dan terisolasinya tempat itu.

Di tengah suasana suram pondok, Nina menoleh ke arah Fajar, tetapi wajahnya berubah menjadi sosok yang menyeramkan yang beberapa hari ini mengganggunya. Matanya merah menyala, kulitnya pucat seperti mayat, dan senyumnya mengerikan.

"Siapa kamu?! Di mana Fajar?!" teriak Nina panik, mencoba berlari keluar. Namun, sosok itu menarik tangannya dengan kuat, membuatnya tak bisa bergerak. Ketakutan merajai pikiran Nina, membuatnya lemas tak berdaya. Tubuhnya bergetar hebat saat merasakan kulit dingin sosok itu di tangannya.

Di tengah kepanikan itu, Nina melihat gelang logam melingkar di pergelangan tangan makhluk yang mencengkeramnya itu. Gelang berbahan logam berwarna perak yang agak kusam itu memiliki motif ukiran detail dan rumit, menunjukkan keterampilan tinggi dari pengrajin yang membuatnya.

Anehnya, Nina merasa familiar dengan gelang tersebut. Ia merasa tidak asing dengan motif-motif ukiran yang menggambarkan pola-pola simetris yang berulang, menyerupai simbol-simbol kuno yang mungkin memiliki makna tertentu pada gelang tersebut. Di bagian gelang yang terlihat oleh matanya, tampak gambar hewan dengan taring tajam dan sayap yang terkembang, seakan siap terbang kapan saja. Nina juga melihat sebuah batu permata kecil berwarna merah delima yang dikelilingi oleh ukiran berbentuk lingkaran.

"Aku telah lama menunggumu, Nina. Fajar sudah menjadi milikku, dan sekarang giliranmu!" suara sosok yang mencengkeram Nina terdengar memekakkan telinga.

Nina meronta, berteriak meminta tolong, tetapi tak ada yang mendengarnya. Sosok itu menyeretnya semakin dalam ke pondok, di mana bayangan-bayangan hitam bergerak menghampirinya.

Tiba-tiba, pintu pondok terbuka dengan keras, dan terlihat seorang pria tua masuk.

"Pergi dari sini! Kau tidak berhak mengambil sesuatu yang bukan milikmu!" teriak pria tua itu sembari mengayunkan tongkat kayu yang ia bawa. Tongkat itu serasa berdaya magis sehingga sosok lelaki yang mencengkeram Nina menjerit dan melepaskan cengeramannya sebelum menghilang dalam kegelapan dalam pondok.

Nina terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar hebat, dan air mata mengalir deras di pipinya. Pria tua itu lalu membantunya berdiri dan mengajaknya keluar dari pondok.

"Kau aman sekarang, Nak. Jangan pernah kembali ke tempat ini," katanya.

Nina menoleh ke arah pondok itu sekali lagi saat si pria tua membimbingnya keluar dari hutan. Rasa takut masih terselip di hatinya.

*

Bagian 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun