Mohon tunggu...
Mugitresno
Mugitresno Mohon Tunggu... -

karyawan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Maskapai Indonesia Rontok Satu Persatu.......

27 Juli 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:33 2515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1343382620654195016

[caption id="attachment_203036" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS Images/Dhoni Setiawan)"][/caption] Maskapai swasta nasional telah rontok satu-persatu, baru saja diberitakan bahwa Batavia Air diakuisisi oleh Air Asia group milik pengusaha Malaysia Tony Fernandez, meskipun secara aturan nasional kepemilikan warga negara bukan Indonesia untuk perusahaan penerbangan tidak lebih dari 49% saham yang dimiliki. Tetapi, karena adanya Indonesia Air Asia, maka group ini bisa memiliki sampai 100 %, karena sisa saham yang ada sebanyak 51 % dimiliki oleh Indonesia Air Asia, dimana Tony Fernandez secara legal, juga memiliki saham di Indonesia Air Asia.....sebuah langkah yang cerdas dari seorang pengusaha dari negeri Jiran....Malaysia. Rontoknya maskapai nasional Indonesia tidak terlepas dari peran regulasi angkutan udara Indonesia yang sangat-sangat tidak siap untuk menghadapi ASEAN Open Sky Policy...tingginya "biaya siluman"  untuk memperoleh "Trayek" penerbangan, serta pengeloaan bandara yang mana masih adanya "biaya siluman" yang luar biasa besar untuk menentukan slot-slot penerbangan (Time Table), sangat mirip dengan apa yang dialami oleh para pengusaha bus Antar Propinsi....yang konon kabarnya urusan perijinannya demikian ruwet dan memakan beaya yang luar biasa besar...disamping pungutan di terminal-terminal dimana bus itu "Ngetem". Bila Bus Antar Propinsi yang mengeluarkan Ijin Trayeknya adalah Kepala Direktorat Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Raya atas nama Direktur Jendral Perhubungan Darat pada Kementrian Perhubungan, maka untuk angkutan udara pastilah di Direktorat Jendral Perhubungan Udara, juga di Kementrian Perhubungan. Tak dipungkiri bahwa persaingan para "juragan" maskapai ini sedemikian ketat dan keras, karena tiap-tiap perusahaan pastilah menginginkan mendapatkan slot penerbangan di bandara pada jam-jam gemuk penumpang dan perebutan slot inilah peluang untuk  "jual jam"  menjadi seperti lelang....siapa yang berani paling mahal memberi "upeti" ya itulah yang bisa mendapatkan ijin dari regulator. Disamping perebutan jam pemberangkatan, para maskapai tentunya juga mengincar trayek-trayek gemuk seperti Jakarta-Medan ( CGK-MES) ; Jakarta-Surabaya ( CGK-SUB) ; Jakarta-Makassar ( CGK-UPG) ; Surabaya-Makassar (SUB-UPG) ; Surabaya Banjarmasin ( SUB-BJM) dan lain sebagainya....dan ini juga butuh "jatah upeti" yang luar biasa besar, dibanding dengan bila maskapai itu mengajukan ijin pada trayek yang penumpangnya kurang berpotensi misalnya seperti penerbangan perintis yang disubsidi oleh pemerintah....itupun jatah subsidi yang diterima oleh maskapai juga bakalan "digorok" dulu oleh pemberinya. Itu baru maskapai dalam negeri, belum maskapai luar negeri yang ingin masuk ke Indonesia. Pesawat terbang yang dibeli maupun yang disewa oleh para maskapai itu dibayar dalam bentuk Dollar Amerika Serikat, sedemikian juga spare part atau "onderdil"nya, bahan bakarnya, ban dan komponen komponen yang lainnya....sedangkan pendapatan mereka dalam Rupiah dan diperparah dengan adanya perang tarip dan pungutan liar yang luar biasa besarnya. Perusahaan transportasi di negri dihadapkan pada kepastian pengeluaran perusahaan, termasuk pengeluaran untuk biaya-biaya siluman sekaligus dihadapkan pada ketidakpastian besarnya pendapatan perusahaan, bisa dibayangkan apabila sebuah perusahaan yang dihadapi itu adalah "pendapatan yang tidak pasti" dan "yang pasti itu adalah pengeluarannya"....ya mana tahan. Besarnya biaya siluman yang membebani para maskapai itu akan mengakibatkan para maskapai itu tidak taat pada aturan pergantian spare part , ban , pelumas , sesuai dengan buku panduan pabrik dan mesin  pesawat, sehingga mereka akan menjadi abai akan keselamatan penerbangan....karena mereka tidak mampu lagi membayar tagihan spare part yang makin menumpuk, disamping tagihan bahan bakar dan biaya ground handling dari para pengelola bandara. Melihat hutang bahan bakar yang sampai saat ini belum bisa dibayarkan oleh Merpati Nusantara pada Pertamina sebesar lebih dari Rp.500 milyar, itu tidak bisa dilakukan oleh maskapai swasta. Maskapai swasta akan membayar DO bahan bakar pesawatnya barulah dikirim oleh Pertamina. Jadi bisa dibayangkan bagaimana pusingnya para pengelola maskapai swasta itu dibandingkan dengan maskapai yang masih BUMN yang masih terus minta di rekapitalisasi oleh negara hanya karena bodohnya pengelolaannya serta kecurangan yang ada karena ulah para pegawainya yang masih berpikiran primitip dalam dunia penerbangan yang sudah sangat maju, pelayanan yang prima, dan akuntabel serta efisien. Pemilik Batavia Air masih berpikir jernih dan elegan  untuk menjual maskapainya pada orang lain yang dianggap jauh lebih mampu untuk mengelola Batavia Air, dan melayani penumpangnya dengan baik. Pengusaha Batavia Air mampu untuk menghadapi keruntuhan perusahaannya dengan dengan cara yang sebaik-baiknya, tanpa melakukan pemecatan karyawan dan dengan tetap menjadi warga negara Indonesia, serta tidak ada persiapan apapun untuk merubah kewargaan-negaranya menjadi warga negara lain bila sewaktu-waktu perusahaanya collaps atau timbul permasalahan yang sangat membelit. Semoga hal itu benar adanya. Regulator penerbangan negeri ini sebaiknya mulai untuk bekerja dengan sebaik-baiknya untuk menjadikan wilayah udara Indonesia ini tempat yang nyaman untuk berusaha dalam bidang penerbangan yang akan melayani masyarakat Indonesia bepergian dengan aman ,cepat ,serta nyaman yang sudah sesuai dengan tuntutan jamannya, bukan menjadikan wilayah udara Indonesia seperti neraka maskapai yang mudah tumbang. Bukan pula pertindak seolah-olah menjadi  "Godfather"nya  para pengusaha Airlines yang mana mereka para Airliner itu, menaungi banyak keluarga untuk mencari nafkahnya dengan halal di perusahaan itu. Mereka adalah putra-putri negeri ini juga yang butuh hidup dengan layak serta pantas sebagai warga negara Indonesia. Tak perlu lagi ada maskapai swasta nasional yang rontok, meskipun persaingan itu adalah persaingan yang ditunggangi kepentingan para raksasa produsen pesawat terbang dunia, kepentingan kekuatan kapital antar benua, serta penjajahan keekonomian global pada pasar-pasar barang dan jasa yang begitu besar seperti Indonesia, negara yang sibuk membangun demokrasi dengan cara- cara yang terkadang menggelikan. Penyadaran pada para Birokrat sebagai regulator negeri ini, bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang sangat besar haruslah terus ditumbuhkan, sehingga benar benar berfungsi sebagai Pegawai Negara Republik Indonesia, menjalankan tugas negara dengan baik dihadapan masyarakat Indonesia yang sangat terhormat....dan minimal bisalah menyanyikan lagu  "Garuda Pancasila" dan "Bagimu Negeri"  serta " Indonesia Tanah Airku"  dengan baik dan benar. Bukan menjadi lintah yang justru menghisap darah saudaranya sendiri yang sebangsa dan setanah air.................Hmmmm.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun