Mohon tunggu...
Mufti Priyanka
Mufti Priyanka Mohon Tunggu... Seniman - Seniman dan Dosen

Seniman dan Dosen Luar Biasa di Telkom Creative Industries School, Bandung. Beberapa pameran tunggal yang pernah diselenggarakan antara lain SLEBORZ di Padi Art Ground, Bandung (2011), Neurotik Djiwo Lohjinawi di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2012), dan Imajiku, pameran tunggal dokumentasi foto di Omnispace, Bandung (2015).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaurkan Kembali Seni dengan Publik

17 Desember 2020   10:29 Diperbarui: 17 Desember 2020   10:55 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpijak pada pemikiran di atas, maka tulisan ini merupakan pemaparan sederhana terkait proses penciptaan karya yang sedang saya lakukan. Dalam proses penciptaan ini, secara tidak langsung saya memberikan gambaran tentang berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Peristiwa sederhana yang mungkin dianggap oleh sebagian orang tidak penting menjadi ide dari proses penciptaan karya saya.

Semangatnya, menambah satu lagi upaya bersama untuk kembali melibatkan masyarakat pada karya seni.

Ada anggapan bahwa karya seni harus eksklusif, namun bagi saya, memberikan gambaran tentang fenomena kehidupan sosial merupakan cara untuk membentuk interaksi dengan subjek dan penonton karyanya. Jika berbicara tentang peradaban manusia, tidaklah akan lepas dari persoalan seni dan budaya yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Seni dan budaya merupakan dua hal yang selalu bersinggungan satu sama lain, tidak dapat dipisahkan. Hal inilah yang menciptakan peradaban yang selalu hidup pada zamannya.

Mengambil tajuk “Gemah Ripah Lho Kumuh”, praktik seni yang saya lakukan memiliki pengertian sebagai bentuk komunikasi. Karya seni memungkinkan orang-orang dari budaya dan waktu yang berbeda untuk berkomunikasi satu sama lain melalui gambar (visual). 

Seni seringkali menjadi wahana perubahan sosial, hal ini dapat memberikan suara kepada mereka yang kehilangan hak secara politik atau sosial. Karya-karya dalam proyek ini  diharapkan dapat membangkitkan emosi orang-orang yang menemuinya, menginspirasi mereka untuk bersatu demi perubahan, berangkat dari gambaran sosial akan sebuah lingkungan yang bahkan letaknya di tengah kota.

Proyek “Gemah Ripah Lho Kumuh” melintasi batas dan melihat sesuatu dengan cara yang berbeda. Ilustrasi yang muncul dapat menjadi wahana untuk diskusi publik, memahami masalah sosial, dan membangun hubungan sosial. 

Dengan gambaran yang muncul dari proyek ini, saya memiliki harapan besar agar seni tidak lagi memiliki jarak dengan masyarakat pada umumnya, namun lebih jauh, seni dapat pula menjadi jembatan bagi pola penyampaian informasi secara massif. Tidak hanya di ruang-ruang spesifik seperti galeri seni, namun dapat pula diapresiasi lebih dekat di tengah masyarakat pada umumnya.

Proyek ini mengambil objek kawasan Cicadas, Kota Bandung. Kawasan di sebelah timur ini merupakan satu contoh dari fenomena kepadatan penduduk di kota Bandung. Imbas daya tarik Bandung yang membuat laju urbanisasi sudah jelas terlihat sejak awal mula kota ini berkembang.

Cicadas punya sejarah panjang. Kawasan ini mulai berkembang pasca-kemerdekaan Indonesia ketika menjadi salah satu pusat urban dan sentra ekonomi selain kawasan Alun-alun di jantung Kota Bandung. Di era tahun 70 hingga akhir 90-an, kawasan ini terkenal dengan pusat hiburan seperti bioskop dan tempat hiburan malam seperti Billiard Pool dan toko kaset pita. Nama-nama musisi besar seperti Deddy Stanzah, tokoh politik Mei Kartawinata hingga seniman dan budayawan Jeihan Sukmantoro dan Remy Sylado dikenal muncul dari kawasan ini.

Namun, di tengah tingginya tuntutan dan gejala sosial yang terjadi di perkotaan, muncul persoalan baru di tengah kawasan yang awalnya menjadi pusat pertumbuhan perekonomian. Sebut saja ketimpangan yang muncul dari kesenjangan sosial hingga tingkat kriminal yang marak bermunculan. Tingginya persaingan akibat pertumbuhan ekonomi yang tergolong cepat juga memunculkan persoalan sulitnya memperoleh pemukiman yang layak akibat ketidak tersediaan lahan tempat tinggal.

Dalam tulisannya yang berjudul “Untuk Apa Seni?”, Bambang Sugiharto mengatakan bahwa seni merupakan hal yang sekilas tidak pokok, tidak penting, berlebihan, kegenitan, subjektif, dianggap sebagai suatu pemborosan demi tujuan yang tidak bisa dimengerti (Sugiharto, 2013). Tetapi di saat yang sama seni justru penentu segala bidang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun