Sekarang kita sedang dilanda perasaan harap-harap cemas. Siapakah yang akan menggantikan SBY sebagai presiden Indonesia untuk periode 2014-2019 nanti. Beberapa parpol pun telah terang-terangan mendeklarasikan kader terbaiknya untuk bertarung dalam bursa kursi RI-1.
Iklan-iklan parpol, iklan-iklan capres sudah mulai sering bermunculan di layar televisi. Menggoda rakyat dengan harapan besar agar kepincut, lalu suara rakyat pun mengalir ke kantong partai. Dengan begitu ambang batas minimal pencapresan parpolminimal20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional bisa terpenuhi.
Berbagai macam rayuan, berbagai macam bujukan merasuk dalam pikiran kita. Rakyat yang cerdas tidak begitu saja percaya, tapi rakyat yang masih bingung akan ikut arus kemana orang-orang di sekelilingnya memilih. Di sinilah sebenarnya peran suara rakyat dalam menentukan siapa pemimpin selanjutnya.
Kita dituntut cerdas memilih, karena siapapun yang terpilih nanti akan sangat berpengaruh pada perubahan bangsa ke depan. Namun perlu diingat, bangsa akan menjadi lebih baik, stagnan atau malah lebih buruk sangat ditentukan siapa pemimpin yang terpilih itu.
Tradisi baca buku
Yang disayangkan, dari beberapa iklan parpol dan capres itu belum ada yang menyentuh persoalan pentingnya sebuah buku. Atau paling tidak, komitmen mereka dalam mencerdaskan bangsa ini dengan gemar membaca. Mereka masih terpaku kepada bagaimana mensejahterakan rakyat, anti korupsi dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, persoalan perut masih menjadi sentral yang paling utama. Persoalan perbaikan sumber daya manusia masih belum populer di kalangan para calon pemimpin kita. Padahal untuk mengelola kekayaan sumber daya bangsa ini harus ada sumber daya manusia yang handal. Dan salah satunya untuk mendongkrak SDM adalah dengan menyebarkan minat baca dan komitmen mereka terhadap dunia perbukuan.
Kita perlu belajar dengan bangsa lain. Salah satunya Jepang, luas negaranya jauh lebih kecil dari negara kita. Akan tetapi Jepang bisa lebih maju dari kita, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat di sana. Dan itu semua tidak lepas dari tradisi membaca yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Jepang.
Menurut cerita, setelah hancur dalam Perang Dunia II, Jepang segera bangkit. Yang dilakukan pemerintahnya adalah mengumpulkan guru-guru dan para cerdik cendekia dan memerintahkan mereka untuk menerbitkan buku-buku secara masal, termasuk terjemahan dari berbagai literatur dunia. Buku-buku yang diterbitkan meliputi sastra, ekonomi, politik, teknik, ilmu dasar, aplikasi, teknologi hingga filsafat.
Nah pertanyaannya adalah apakah dari para calon pemimpin kita nanti ada yang mempunyai track record tradisi baca yang kuat atau tidak. Karena kalau kita ingin belajar bagaimana Jepang maju, kita harus mempunyai pemimpin yang mempunyai komitmen terhadap tradisi baca. Tanpa itu, untuk memajukan bangsa ini, apalagi mensejajarkan diri dengan bangsa maju lainnya tentu masih membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya.
Pemimpin dan buku
Bukan hal yang utopis, kalau dikatakan buku menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang pemimpin. Karena kalau kita membaca sejarah, akan kita ketemukan profile pemimpin yang mencintai buku. Bahkan sampai mendirikan perpustakaan yang megah untuk tempat buku-bukunya itu.
Di Spanyol misalnya, pernah hidup seorang pemimpin yang bernama Al-Hakam II, ia adalah khalifah ke-9 pemerintahan bani Umayyah. Ia adalah salah seorang pemimpin yang mencintai buku, wujud kecintaannya itu ia wujudkan dengan mendirikan perpustakaan di Cordova dengan koleksinya sebanyak 400.000 buku. Bahkan pada masa pemerintahannya itu, ia memerintahkan para intelektual juga para pejabat untuk berkeliling ke seluruh penjuru negeri Islam untuk mendapatkan manuskrip-manuskrip dan mengkopinya. (Laode M Kamaluddin dan A. Mujib El Syirazi: 2012, 155)
Dan ternyata sejarah menampakkan fakta menarik. Bahwa puncak kemajuan suatu bangsa itu ketika berada di bawah pemerintahan seorang pemimpin yang mempunyai komitmen terhadap tradisi baca masyarakatnya. Karena dengan cakupan buku yang melimpah ruah itu mendorong masyarakat untuk membaca. Kemudian muncul kreatifitas dan penemuan baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan bangsa yang bersangkutan.
Ketika perut lapar, perlu makan. Ketika pikiran kosong perlu diisi dengan pengetahuan. Kebutuhan perut memang penting, tapi kebutuhan mencerdaskan pikiran tak kalah pentingnya. Karena bangsa yang cerdas akan bisa mengurus bangsanya sendiri. Seberapa pun kayanya suatu bangsa, kalau tidak cerdas maka akan terus diurus oleh bangsa lain.
Bukankah kita tak rela bangsa kita terus berada dicengkraman bangsa lain karena kita tak pandai mengurus diri. Maka mari kita menanti dengan jeli sosok pemimpin yang berkomitmen mencerdaskan rakyatnya dengan kebijakan mentradisikan baca buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H