Mohon tunggu...
Mufraini Hamzah
Mufraini Hamzah Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan swasta

saya sangat menyukai traveling dan kuliner , dua hal ini kombinasi yang paling apik untuk menghilangkan penat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Praktek Poligami Bukanlah Suatu Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Perempuan, namun Sebaliknya Pada Poliandri

12 November 2022   11:33 Diperbarui: 12 November 2022   11:42 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara Republik Indonesia merupakan Negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tyang idak terlepas dari segala peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Sebagai Negara hukum tentunya  menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa ada pengecualian. Namun satu hal tidak boleh terlupakan dan terabaikan adalah dijunjung tingginya hak hak asasi manusia dalam membuat suatu peraturan perundang undangan, atau dalam melakukan pengaturan terhadap kehidupan masyarakat tersebut, Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah suatu hak fundamental  yang dimiliki manusia yang melekat pada seseorang dari lahir bahkan saat masih dalam kandungan Ibunya.  

HAM tersebut juga tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya, selain itu HAM juga harus dihargai, dipelihara, dihormati dan dijaga baik itu oleh negara, hukum, pemerintah dan bahkan semua orang. Hubungan HAM sendiri dengan hukum sangatlah erat, bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat terpisahkan, yang mana jika mata uang tersebut hanya tampak satu sisi nya saja, maka hampir dapat dipastikan tidak ada nilainya samaskali. Demikian juga dengan HAM dan HUKUM, masing masing memberikan nilai dan arti kepada yang lainnya, oleh karena itu  semua hak terikat oleh hukum, kita mempunyai hak untuk melakukan sesuatu tapi hak itu dibatasi juga oleh hak orang lain. Disinilah hukum berperan mengaturnya agar tercipta kehidupan masyarakat yang tertib, damai, sejahtera dan bernilai . 

Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam menyusun suatu perundang undangan ataupun peraturan, si pembuat undang undang wajib memperhatikan hak hak asasi yang melekat pada manusia sebagai mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak terlepas dari interaksi sosial antara sesama nya ataupun dengan lingkungannya, demikian juga manusia itu sendiri dalam menerapkan hak asasi nya wajib memperhatikan pembatasan yang diatur oleh hukum yang telah  dijawantahkan kedalam perundang-undangan atau peraturan lainnya. 

Negara Indonesia  sebagai negara hukum sangat menghargai dan mengedepankan hak asasi manusia,  sebagai negara hukum menghormati hak asasi manusia ini lah yang menjadikan alasan Indonesia untuk meratifikasinya International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) pada tahun 2005, yang diratifikasi kedalam  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Dengan ratifikasi tersebut  maka ada konsekuensi yang harus dihadapi Indonesia dalam menegakkan hukum juga dalam membuat peraturan dan perundang-undangan, dimana wajib memperhatikan hak asasi manusia dalam hal ini khususnya hak sipil dan politik seseorang.

Memiliki dan menjalankan kehidupan yang aman,  bahagia dan mempunyai keturunan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia, hak itu bisa didapatkan oleh manusia sebagai mahluk sosial  melalui perikatan perkawinan,  bahkan hal ini terdapat dalam Undang Undang Dasar 1945 amandemen ke IV pasal 28 B ayat (1) yang berbunyi :

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Hal diatas mempertegas diakui nya sebuah perkawinan yang sah merupakan suatu Hak yang bisa  didapatkan oleh seseorang dan dilindungi Undang-undang, karena sedemikian pentingnya sebuah perkawinan itu untuk diatur,  maka dibuat dan disahkanlah Undang Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan ( UU Perkawinan )  yang beberapa pasalnya telah di ubah dalam Undang Undang No.16 tahun 2019 Tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pada prinsipnya tidak ada satu pasangan pun di dunia ini yang melangsungkan perkawinan, namun tidak menginginkan kebahagian dari perkawinanya tersebut, seperti tersebut dalam UU Perkawinan Pasal 1 :  Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha.

 Di Negara Indonesia dengan berbagai macam suku bangsa dan agama, perkawinan adalah sesuatu yang bisa menimbulkan masalah atau konflik sosial jika tidak diatur dengan baik dan hati hati, hal ini dapat terlihat pada saat pembentukan UU Perkawinan banyak terjadi pro dan kontra, khususnya dari kalangan Islam. Mengapa terjadi pro dan kontra tersebut ? Hal yang berpotensi menimbulkan konflik sosial ini karena masing masing agama yang hidup di Indonesia ini mempunyai aturan dan hukum sendiri terkait perkawinan, dan  juga begitu majemuknya adat istiadat dari suku yang ada di Indonesia. Masing masing Suku tersebut  mempunyai aturan dan adat istiadat tersendiri  dalam adat istiadat  perkawinan, hal itu menyebabkan tidak lah mudah membuat undang undang perkawinan yang universal  dapat diterima semua pihak dan tetap melindungi hak hak asasi manusia dan menjunjung norma agama serta adat istiadat  yang hidup di masyarakat. Banyak hal yang timbul akibat sebuah perkawinan, namun penulis kali ini mengangkat suatu permasalahan terkait Paktek Poligami yang hidup dalam masyarakat Indonesia .

            Pada prinsipnya perkawinan di Indonesia menganut system Monogami, dimana satu orang hanya boleh terikat oleh satu perkawinan yang sah seperti ditegaskan dalam UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan ) pasal 3 ayat 1 : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun untuk mengakomodir hukum Agama dan adat yang hidup di Masyakarat , maka dibuatlah Pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan yang memberi peluang kepada seorang Suami untuk mempunyai lebih dari satu orang Istri ( Poligami ) : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.  

Hal ini bertolak belakang dengan kesempatan seorang istri yang mana tidak ada satu pasal atau ayat pun dalam UU Perkawinan yang mengatur seorang Istri boleh bersuami lebih dari seorang ( Poliandri ), artinya bagi seoarng Istri hanya berlaku  ke pasal 3 ayat 1 diatas, yaitu seorang Istri hanya boleh mempunyai seorang suami .

Timbul pertanyaan apakah  UU Perkawinan  ini diskriminatif  terhadap perempuan dan hak seorang istri, apakah benar pasal 3 UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan  Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan -The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi CEDAW, 18 December 1979) yang telah diretifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang Undang No.7 Tahun 1984, apalagi UU Perkawinan ini dibuat sebelum konvensi CEDAW dan retifikasinya,  yang membuat seolah olah UU Perkawian tidak sejalan dengan konvensi CEDAW. 

 Memang pembatasan yang ada dalam pasal 4 dan 5 UU Perkawinan dibuat agar jika seorang suami  bermaksud mempunyai lebih dari seorang istri  dalam ikatan perkawinan yang sah diatur/dibatasi dengan persyaratan yang cukup ketat  namun hal itu tetap saja seakan akan ada unsur diskriminatifnya . Jika dicermati lebih jauh dan dihubungkan dengan Konvensi Hak Anak --The Convention of the Rights of the Child (CRC, 20 Nov 1989) Hakekatnya pelarangan Poliandri bukanlah diskriminatif atau kurang menghargai hak asasi seorang peremuan dalam hal ini seorang Istri, melainkan  pelarangan poliandri itu  selain melindungi Hak perempuan dari potensi kekerasan fisik maupun verbal dari para suaminya ( poliandri lebih dari seorag suami ), hal pokok lainnya adalah   untuk melindungi Hak asasi anak yang akan dilahirkan baik hak ekonominya, hak sosial maupun hak budayanya, karena jika praktek ini dibiarkan akan banyak potensi permasalahan hukum yang timbul yang dapat mempersulit kehidupan si anak bahkan bisa mempermalukan si anak dalam kehidupannya sosialnya. 

     Undang undang melarang poliandri agar tidak ada permasalah dalam menentukan ayah si anak , permasalahan perwalian si anak , juga ada potensi permasalahan hukum dalam hukum warisan terhadap si anak dan permasalahan hukum lainnya. Maka pelarangan Poliandri justru sejalan dengan Konvensi perlindungan anak untuk memastikan hak hak ekonomi, sosial dan hak budaya si Anak terlindungi,  juga untuk melindungi kepastian hukum perwalian si anak . Disamping itu pelarangan poliandri hakekatnya juga melindungi hak perempuan baik itu hak sosial maupun budaya untuk  menjaga martabat perempuan, melindungi dari potensi kekerasan ataupun pelecehan seksual yang berpotensi dialami perempuan jika melakukan Poliandri . Bahkan untuk  mempertegas pelarangan tersebut seorang istri dapat dikenakan pasal Perzinahan dan  dikenakan sanksi pidana sebagai mana daitur dalam pasal 284 KUHPidana, jika melakukan praktek poliandri.  Sudah jelas lah bahwa ini merupakan bukti nyata hak asasi itu diikat oleh hukum untuk kepentingan yang lebih besar dan melindungi hak asasi orang lain .

Lalu bagaimana dengan praktek Poligami ?  Baik dalam UUD 1945 pasal 28 B maupun dalam UU Perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia untuk mendapatkan keturunan dari ikatan perkawinan tersebut. Mendapatkan keturunan merupakan hak asasi manusia yang banyak di idam-idamkan. Di Indonesia garis keturunanya menganut sistem Patrilineal yaitu garis keturunan yang mengikuti garis keturunan Bapak, walaupun ada beberapa suku yang menganut system matrilineal seperti di Minangkabau namun bukan berarti mereka membolehkan Poliandri. Tidak semua wanita itu dapat memberikan keturunan dalam ikatan perkawinannya, sehingga untuk melindungi  Hak seseorang agar mendapatkan keturunan dan meneruskan garis keturunanya seperti yang disebutkan dalam  UU Perkawinan, maka Undang -undang memberikan peluang seorang suami untuk berpoligami. Agar pengecualiaan ini tidak disalah gunakan dalam prakteknya, maka  undang-undang menentukan beberapa persyaratan agar suami bisa  melakukan Poligami secara sah, hal ini untuk dapat melindungi hak seorang istri yang akan di poligami dan agar si istri tidak diperlakukan semena mena  misalkan di ceraikan si suami dengan alasan tidak bisa memberikan keturunan atau alasan lainnya.

Hak asasi Manusia itu samaskali tidak memandang gender, suku bangsa ataupun agama , namun hak asasi itu dalam penerapannya tetap diikat oleh Hukum agar tercipta masyarat yang teratur , damai dan sejahtera, oleh karena itu hak asasi seseorang bukanlah hak yang dapat dijalankan sebebas bebasnya, kerena hak seseoarang dibatasi oleh hak orang lain. Seperti pada contoh penerapan sistem Poligami dan Poliandri yang di terapkan dalam negara kita tercinta Indonesia. Pembolehan Poligami bukan lah sesuatu yang menginjak injak harkat martabat seorang perempuan, tapi pada hakekatnya melindungi hak dasar manusia untuk mendapatkan keturunan dan keluarga bahagia yang mana hal dasar ini tertuang dalam UUD 1945, konstitusi tertinggi kita. Namun demikian  tetap saja dalam penerapannya pun dibatasi dan diatur oleh hukum agar dapat melindungi hak orang lain .

Sedangkan pelarangan praktek Poliandri bukanlah bentuk diskriminasi yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan,  khusunya dalam hal ini kaum Istri, tapi justru melindungi harkat dan martabat  dan hak dasar seorang perempuan dan juga meminimalisir potensi masalah hukum yang melekat pada seorang anak yang di lahirkan oleh seorang istri yang berpoliandri,  tentunya ini menyangkut asas kepastian hukum status seorang anak. Hal ini juga merupakan pengaplikasian dari konvensi Hak-hak Anak yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Kepres No.36 tahun 1990 khususnya terkait Pasal 6,7 dan 8 konvesi hak hak Anak . Disamping itu tidak ada satupun  ajaran Agama yang di akui di Indonesia membolehkan praktek Poliandri .

     Saran : Pada prakteknya masih banyak hak hak perempuan yang terabaikan atau bahkan tak terlindungi dalam suatu perkawinan , untuk itu KOMNAS Perempuan harus lebih aktif , tidak bersifat pasif dalam melindungi hak-hak perempuan Indonesia. KOMNAS Perempuan tidak hanya menunggu laporan atau hanya aktif jika menangani kasus-kasus yang menjadi perhatian public saja ( tebang pilih kasus )  hak asasi perempuan  itu sama,  bukan dilihat dari besar kecilnya kasus tersebut. Dalam hal ini  kita masih belum jelas apa fungsi divisi pemantauan dalam KOMNAS Perempuan karena hanya ada koordinator rekomendasi dan koordinator pengaduan dan rujukan , jadi sifatnya sangat pasif. Divisi ini sebaiknya  di reformasi agar lebih aktif terjun ke masyarakat melakukan pemantauan baik melalui lembaga perkawinan ataupun lembaga peradilan, mungkin dengan penambahan koordinator pemantauan Masyarakat atau sejenisnya yang tupoksi nya terjun langsung ke masyarakat memantau masalah hukum yang ada, khususnya kasus dimana hak perempuan belum sepenuhnya  terwakilkan dan kurang mendapat pembelaan. Divisi Pendidikan atau Divisi Partisipasi Masyarakat di KOMNAS Perempuan juga harus lebih aktif mensosialisasikan terkait hak asasi Manusia khusunya hak-hak perempuan, karena dalam budaya masyarakat Indonesia khusunya di pedesaan, perempuan itu sangat tertutup ada hal tabu jika perempuan mengungkapkan masalah kehidupan rumah tangganya, sehingga banyak perempuan masih diperlakukan sebagai objek perkawinan bukan subjek perkawinan.

"Maka nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat. Namun, apabila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki iebih dari satu istri), nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

QS. An-Nisaa': 3. 

  Daftar Pustaka

  • Undang Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV 
  • Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan  
  • Konvensi Hak-Hak Anak

Ditulis oleh :  Mufraini Hamzah, S.H.

NIM : 22/501615/PHK/12046

Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada Kampus Jakarta 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun