Mohon tunggu...
Mufraini Hamzah
Mufraini Hamzah Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan swasta

saya sangat menyukai traveling dan kuliner , dua hal ini kombinasi yang paling apik untuk menghilangkan penat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Praktek Poligami Bukanlah Suatu Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Perempuan, namun Sebaliknya Pada Poliandri

12 November 2022   11:33 Diperbarui: 12 November 2022   11:42 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Memang pembatasan yang ada dalam pasal 4 dan 5 UU Perkawinan dibuat agar jika seorang suami  bermaksud mempunyai lebih dari seorang istri  dalam ikatan perkawinan yang sah diatur/dibatasi dengan persyaratan yang cukup ketat  namun hal itu tetap saja seakan akan ada unsur diskriminatifnya . Jika dicermati lebih jauh dan dihubungkan dengan Konvensi Hak Anak --The Convention of the Rights of the Child (CRC, 20 Nov 1989) Hakekatnya pelarangan Poliandri bukanlah diskriminatif atau kurang menghargai hak asasi seorang peremuan dalam hal ini seorang Istri, melainkan  pelarangan poliandri itu  selain melindungi Hak perempuan dari potensi kekerasan fisik maupun verbal dari para suaminya ( poliandri lebih dari seorag suami ), hal pokok lainnya adalah   untuk melindungi Hak asasi anak yang akan dilahirkan baik hak ekonominya, hak sosial maupun hak budayanya, karena jika praktek ini dibiarkan akan banyak potensi permasalahan hukum yang timbul yang dapat mempersulit kehidupan si anak bahkan bisa mempermalukan si anak dalam kehidupannya sosialnya. 

     Undang undang melarang poliandri agar tidak ada permasalah dalam menentukan ayah si anak , permasalahan perwalian si anak , juga ada potensi permasalahan hukum dalam hukum warisan terhadap si anak dan permasalahan hukum lainnya. Maka pelarangan Poliandri justru sejalan dengan Konvensi perlindungan anak untuk memastikan hak hak ekonomi, sosial dan hak budaya si Anak terlindungi,  juga untuk melindungi kepastian hukum perwalian si anak . Disamping itu pelarangan poliandri hakekatnya juga melindungi hak perempuan baik itu hak sosial maupun budaya untuk  menjaga martabat perempuan, melindungi dari potensi kekerasan ataupun pelecehan seksual yang berpotensi dialami perempuan jika melakukan Poliandri . Bahkan untuk  mempertegas pelarangan tersebut seorang istri dapat dikenakan pasal Perzinahan dan  dikenakan sanksi pidana sebagai mana daitur dalam pasal 284 KUHPidana, jika melakukan praktek poliandri.  Sudah jelas lah bahwa ini merupakan bukti nyata hak asasi itu diikat oleh hukum untuk kepentingan yang lebih besar dan melindungi hak asasi orang lain .

Lalu bagaimana dengan praktek Poligami ?  Baik dalam UUD 1945 pasal 28 B maupun dalam UU Perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia untuk mendapatkan keturunan dari ikatan perkawinan tersebut. Mendapatkan keturunan merupakan hak asasi manusia yang banyak di idam-idamkan. Di Indonesia garis keturunanya menganut sistem Patrilineal yaitu garis keturunan yang mengikuti garis keturunan Bapak, walaupun ada beberapa suku yang menganut system matrilineal seperti di Minangkabau namun bukan berarti mereka membolehkan Poliandri. Tidak semua wanita itu dapat memberikan keturunan dalam ikatan perkawinannya, sehingga untuk melindungi  Hak seseorang agar mendapatkan keturunan dan meneruskan garis keturunanya seperti yang disebutkan dalam  UU Perkawinan, maka Undang -undang memberikan peluang seorang suami untuk berpoligami. Agar pengecualiaan ini tidak disalah gunakan dalam prakteknya, maka  undang-undang menentukan beberapa persyaratan agar suami bisa  melakukan Poligami secara sah, hal ini untuk dapat melindungi hak seorang istri yang akan di poligami dan agar si istri tidak diperlakukan semena mena  misalkan di ceraikan si suami dengan alasan tidak bisa memberikan keturunan atau alasan lainnya.

Hak asasi Manusia itu samaskali tidak memandang gender, suku bangsa ataupun agama , namun hak asasi itu dalam penerapannya tetap diikat oleh Hukum agar tercipta masyarat yang teratur , damai dan sejahtera, oleh karena itu hak asasi seseorang bukanlah hak yang dapat dijalankan sebebas bebasnya, kerena hak seseoarang dibatasi oleh hak orang lain. Seperti pada contoh penerapan sistem Poligami dan Poliandri yang di terapkan dalam negara kita tercinta Indonesia. Pembolehan Poligami bukan lah sesuatu yang menginjak injak harkat martabat seorang perempuan, tapi pada hakekatnya melindungi hak dasar manusia untuk mendapatkan keturunan dan keluarga bahagia yang mana hal dasar ini tertuang dalam UUD 1945, konstitusi tertinggi kita. Namun demikian  tetap saja dalam penerapannya pun dibatasi dan diatur oleh hukum agar dapat melindungi hak orang lain .

Sedangkan pelarangan praktek Poliandri bukanlah bentuk diskriminasi yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan,  khusunya dalam hal ini kaum Istri, tapi justru melindungi harkat dan martabat  dan hak dasar seorang perempuan dan juga meminimalisir potensi masalah hukum yang melekat pada seorang anak yang di lahirkan oleh seorang istri yang berpoliandri,  tentunya ini menyangkut asas kepastian hukum status seorang anak. Hal ini juga merupakan pengaplikasian dari konvensi Hak-hak Anak yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Kepres No.36 tahun 1990 khususnya terkait Pasal 6,7 dan 8 konvesi hak hak Anak . Disamping itu tidak ada satupun  ajaran Agama yang di akui di Indonesia membolehkan praktek Poliandri .

     Saran : Pada prakteknya masih banyak hak hak perempuan yang terabaikan atau bahkan tak terlindungi dalam suatu perkawinan , untuk itu KOMNAS Perempuan harus lebih aktif , tidak bersifat pasif dalam melindungi hak-hak perempuan Indonesia. KOMNAS Perempuan tidak hanya menunggu laporan atau hanya aktif jika menangani kasus-kasus yang menjadi perhatian public saja ( tebang pilih kasus )  hak asasi perempuan  itu sama,  bukan dilihat dari besar kecilnya kasus tersebut. Dalam hal ini  kita masih belum jelas apa fungsi divisi pemantauan dalam KOMNAS Perempuan karena hanya ada koordinator rekomendasi dan koordinator pengaduan dan rujukan , jadi sifatnya sangat pasif. Divisi ini sebaiknya  di reformasi agar lebih aktif terjun ke masyarakat melakukan pemantauan baik melalui lembaga perkawinan ataupun lembaga peradilan, mungkin dengan penambahan koordinator pemantauan Masyarakat atau sejenisnya yang tupoksi nya terjun langsung ke masyarakat memantau masalah hukum yang ada, khususnya kasus dimana hak perempuan belum sepenuhnya  terwakilkan dan kurang mendapat pembelaan. Divisi Pendidikan atau Divisi Partisipasi Masyarakat di KOMNAS Perempuan juga harus lebih aktif mensosialisasikan terkait hak asasi Manusia khusunya hak-hak perempuan, karena dalam budaya masyarakat Indonesia khusunya di pedesaan, perempuan itu sangat tertutup ada hal tabu jika perempuan mengungkapkan masalah kehidupan rumah tangganya, sehingga banyak perempuan masih diperlakukan sebagai objek perkawinan bukan subjek perkawinan.

"Maka nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat. Namun, apabila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki iebih dari satu istri), nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

QS. An-Nisaa': 3. 

  Daftar Pustaka

  • Undang Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV 
  • Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan  
  • Konvensi Hak-Hak Anak

Ditulis oleh :  Mufraini Hamzah, S.H.

NIM : 22/501615/PHK/12046

Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada Kampus Jakarta 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun