Banyak orang mengatakan bahwa,masyarakat itu tergantung pada pimpinannya. Jika pimpinannya hebat, maka masyarakat akan dinamis dan berkembang dengan hebatnya. Sebaliknya, jika masyarakat itu dipimpin oleh orang yang biasa-biasa saja, maka masyarakatnya juga tidak akan bisa maju dan berkembang. Maju dan berkembangnya sebuah Wilayah ditentukan oleh SDM dan SDA yang ada pada wilayah itu sendiri.
Komunitas terkecil, sepertirumah tanggapun juga begitu. Sebuah keluarga kelihatan dinamis,karena kepala keluarganya berpikiran maju dan atau cerdas. Bahkan kalau ada siswa berprestasi di sebuah sekolah, maka segera akan ditanyakan, siapa nama guru dan orang tuanya. Pertanyaan itu muncul karenaguru dan orang tuanyayang memimpin dan mendidik anak yang bersangkutan dianggap memiliki peran strategis.
Posisi pemimpin yang sedemikian strategis, ternyata masih belum terlalu disadari oleh sebagian besar masyarakat. Hal itu kelihatan dari tatklala terjadi proses pemilihan calon pemimpin. Di alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpindipilh langsung oleh rakyat. Rakyat pun juga belum selalu tahu, siapa sesungguhnya calon pemimpinnya itu.
Untuk mengenalkan diri, calon pemimpinmereklamekan diri, lewat berbagai cara, baik melalui media elektronikmaupun media lainnya. Kita lihat di berbagai sudut kota, bahkan juga di desa, setiap menjelang pemilihan pimpinan daerah,terpampang foto-foto berukuran besar, sebagai cara mempromosikan diri. Menawarkan diri sebagai calon pemimpin tak ubahnya mempromosikan barang-barang kebutuhan sehari-hari agar laku dijual.
Upaya untuk menjual diri, menawarkan diri dengan melakukan upaya-upaya pendekatan kepada masyarakat dengan cara memberi sebuah iming-iming atau imbalan, itulah yang dinamakan politik transaksional. Kepercayaan masyarakat saat ini hanya bisa dibeli dengan segelintir uang kertas. Ironisnya jual beli itu dimaknai dengan kedermawanan seorang Calon Pemimpin.
Pemilihan pimpinan di zaman demokratis seperti itu menjadikan orang yang tidak punya uang, sekalipun lebih mampu, tidak akan terpilih sebagai pemimpin.Begitu sebaliknya, seorang yang tidak memiliki kapabilitas apa-apa bisa terpilih, karena sejumlah uang yang dimilikinya. Sebagai akibat cara pemilihan pemimpin seperti itu, maka masyarakat yang dipimpinnya tidak maju. Bahkan pemimpin yang terpilih pun, karena harus mencari uang untuk mengembalikan biaya pemilihan, terpaksa korupsi. Dengan kenyataan seperti itu, masyarakat yang dipimpinnya tidak maju, sedangkan pemimpinnya masuk penjara. Maka, sempurnalah kebobrokan masyarakat yang bersangkutan.
Gejala yang memprihatinkan seperti ini merata di semua lapisan, mulai dari tingkatan yang terendah hingga yang tertinggi. Pemimpin yang sesungguhnya memiliki posisi yang amat strategis, selalu menentukan maju mundur, atau dinamika masyarakat yang dipimpin, sebatas hanya berdalih menjalankan demokrasi, ternyata dipilih melalui cara-cara yang tidak benar. Pemimpin hanya dipilih dan muncul atas dasar kekuatan financial.Pemilihan pemimpin yang dilakukan lewat cara transaksi-transaksi itu akhirnya bagaikan proses jual beli di pasar.
Padahal, pemimpin yang sukses adalah orang yang memiliki kapabilitas kepemimpinan, jujur, adil, dan memiliki jiwa pengabdian yang tinggi.Bahkan, pemimpin seharusnya selalu berjuang demi masyarakat yang dipimpinnya. Perjuangan yang dilakukan, masih harus disempurnakanoleh kesediaan berkorban. Sayang sekali,bangsa yang sudah sekian lama menginginkan kemakmuran dan keadilan, tatkala memilih para pemimpinnya,masih berada di jalan yang kurang benar, yaitu dilakukandi antaranya dengan cara transaksi, hingga yang didapat adalah pemimpin transaksional.
Semoga Pemimpin Lumajang Ke depan benar-benar bisa memaknai sebuah pilihan warga lumajang adalah AMANAH buat dirinya. Sehingga beliau menjadikan kursi kepemimpinannya adalah kursi rakyat. karena pada hakekatnya Pemimpin yang sebenarnya adalah RAKYAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H