Mohon tunggu...
Mufid Salim
Mufid Salim Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Komunikasi

Menulis Apa yang Dipelajari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resolusi Petualangan (Tahun) Baru

25 Januari 2017   05:39 Diperbarui: 25 Januari 2017   05:57 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun demi tahun berganti. Suka cita yang sama. Eforia yang sama. Mimpi yang sama. Yang akan selalu berbeda adalah mimpi. Mimpi berubah seiring tahun berganti.

Tiap orang memimpikan hal-hal yang lebih baik di tahun selanjutnya. Hubungan yang membaik. Keadaan ekonomi yang membaik. Kemampuan yang meningkat. Pemahaman yang lebih tinggi. Karir yang lebih baik. Tempat jelajah yang lebih banyak.

Di tahun-tahun sebelumnya, saya rutin membuat resolusi tahun baru. Mimpi-mimpi, yang juga dimiliki semua orang, saya tuliskan menjadi resolusi. Tapi saya sampai pada suatu titik, dan bertanya pada diri sendiri, “Mengapa? Mengapa saya harus melakukan itu?”

Setelah membaca berbagai tulisan, saya menyimpulkan bahawa resolusi lebih bermakna pada janji pada diri kita sendiri, bahwa di tahun berikutnya kita akan melakukan hal-hal yang tertulis.

Namun, yang terjadi di penghujung tahun, justru rasa malu tersembul ketika melihat kembali daftar resolusi tahun lalu. Ternyata sebagian besar dari target belum tercapai. Perasaan bersalah dan menyesal pun menghampiri.

Saya melihat, orang-orang yang inspiratif memahami bahwa impian mereka tercapai karena mereka menetapkan goal jangka panjang, sebuah visi hidup. Kemudian visi itu didukung oleh kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan tiap hari.

Misalnya, menyempatkan membaca minimal satu buku tiap bulannya, bukanlah sesuatu yang mereka harus lakukan karena itu target mereka, tapi karena itulah mereka.

“Your playing small does not serve the world. There is nothing enlightened about shrinking so that other people will not feel insecure around you. We are all meant to shine, as children do. It is not just in some of us; it is in everyone, and as we let our light shine, we unconsciously give others permission to do the same. As we are liberated from our fear, our presence automatically liberates others.” – Marianne Williamson

Seperti anak-anak, saat memasuki tahap dewasa kita juga punya hak untuk bersinar di panggung kita masing-masing. Menjadikan diri sosok yang didambakan. Menginvestasikan detik demi detik untuk mengembangkan pemikiran, mempelajari hal baru, dan mengubah persepsi tentang hidup.

Di titik ini, kesadaran muncul bahwa tidak ada yang berjalan sempurna tanpa cacat. Akan selalu ada ketidaksempurnaan yang mengisi jalannya sebuah perjalanan hidup di tahun berikutnya. Seperti backpacker yang mengarungi perjalanan, hal-hal tak terduga di luar itinerary akan menemui. Tapi, apakah hal-hal tersebut akan membuat perjalanan gagal? Tanyakan mereka, justru di sanalah perjalanan jadi punya cerita, disitulah kenikmatan sebuah perjalanan.

Hal-hal tak terduga tersebut akan menjadi faktor di luar kendali saya, baik sebagai individu maupun sebagai manusia. “Some things are up to us, and some things are not up to us.” kata Epictetus, seorang filsuf. Sepertinya, sudah saatnya saya fokus pada hal-hal yang bisa dikontrol, yaitu sikap ketika menghadapi hal-hal tersebut.

Di tengah demokratisasi media, ketika semua orang bebas bicara yang ada di kepala, mengungkapkan sudut pandang mereka tentang sebuah perkara, meneruskan kabar burung yang mereka suka, maka di sanalah kita perlu mengedepankan rasa.

Apakah ini pantas, apakah ini tidak pantas? Sesuai standar nilai masing-masing yang paling pas.

Sudah saatnya meminimalisir ketergantungan diri dari ikatan emosi yang tak mendukung tujuan hidup yang hakiki.

“You are the average of the five people you spend the most time with.” ungkap Jim Rohn, seorang penulis. Maka siapakah lima orang itu? Mereka adalah cerminan diri ini.

Siap atau tidak siap, tahun sudah berganti. Petualangan besar lainnya menanti. Jalan-jalan menanjak nan terjal siap dilewati. Waktu akan membawa diri bertemu sosok yang dinanti. Eh..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun