Mohon tunggu...
Mufid Nur Hasyim
Mufid Nur Hasyim Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bocoran: Grand Strategy Menuju Pembebasan Ahok

11 Mei 2017   10:46 Diperbarui: 11 Mei 2017   11:30 28149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi adalah pakarnya politik simbol. Ketika berkunjung ke kediaman Prabowo pada Oktober 2016 lalu, di akhir pertemuannya Jokowi meminta Prabowo untuk bertemu wartawan dengan menaiki kuda. Prabowo khawatir, namun tak kuasa menolak. Alhasil, Jokowi menemui wartawan dengan kuda. Setelah itu, Jokowi juga melakukan roadshow ke markas TNI dan kepolisian. Strategi ini juga diadopsi oleh Tim Ahok.

Semua sudah direncanakan oleh Tim Ahok: Menemui Raja Salman, naik satu mobil dengan Presiden Jokowi, meresmikan Masjid Daan Mogot, dipeluk dengan tangisan oleh saudara tiri yang Muslim, dan sebagainya. Konstruksi realitas dari simbol tersebut sangat jelas: Ahok juga pro-Islam, Ahok tidak bersalah, dan Ahok berkuasa. Lalu, untuk apa semua simbol itu? Tentu saja mendapatkan simpati rakyat. Kesan semu menipu yang dihasilkan oleh peristiwa simbolik seperti itu, ditambah dengan framing media, harapannya membuat rakyat simpati pada Ahok.

Awalnya, saya menduga dagelan simbol ini akan berakhir setelah Pilkada usai. Namun, kenyataannya tidak demikian. Simbol baru direkayasa untuk mempertahankan legitimasi dan citra Ahok. Bunga karangan, lilin, bunga mawar, tugu keadilan hingga badut Balai Kota, semuanya hanya simbol untuk menarik perhatian, simpati dan membangun opini bahwa Ahok tidak bersalah. Perhatian siapa? Perhatian masyarakat Indonesia dan perhatian komunitas Internasional. Tim Ahok ingin memperluas medan pertempurannya menjadi pertempuran tingkat nasional (saya bahas dalam poin berikutnya).

Setelah simbol, strategi berikutnya adalah pseudo-event atau acara palsu/semu yang direkayasa untuk mengundang perhatian media dan mengkonstruksi realitas baru. Hampir sama dengan politik simbol, namun yang ini lebih berbahaya. Para pemasar, termasuk saya, menggunakan ini untuk mendapatkan pemberitaan, mengiklankan secara gratis dan menjual barang. Dalam dunia pemasaran, para pemasar merekayasa instrumen pseudo event seperti konferensi pers, 'bocoran' produk, 'demo' produk, dan sebagainya.

Tim Ahok melakukan pseudo event dengan berbagai instrumen rekayasa: antrean pendukung Ahok yang mengular di Balai Kota, tangisan pendukung Ahok, saudara tiri Ahok, rekayasa perusakan karangan bunga, aksi massa pendukung Ahok saat dan pasca sidang Ahok, yang masih bertahan hingga tadi malam (10/5), aksi lilin di berbagai daerah, paduan suara di Balai Kota, hingga pengumpulan 1 juta KTP untuk menangguhkan penahanan Ahok. Tujuannya sama: Mendapat ekspos media, menyebar opini Ahok tidak bersalah, hingga mengkonstruksi realita palsu (pseudo reality) dalam benak publik bahwa Ahok masih didukung, diharapkan dan mendapat legitimasi dari masyarakat.

Dari Festivalisasi Menuju Internasionalisasi

Hukum demokrasi adalah: rakyat memegang kekuasaan tertinggi. Saya menyadari betapa sulit posisi Ahok dan Timnya saat ini untuk melepaskan Ahok dari jerat hukum, meskipun Ahok di back up oleh penguasa sekalipun. Namun, setelah mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk melakukan strategi polarisasi, politik simbol, pseudo event dan strategi lainnya, kini Tim Ahok menyadari bahwa untuk membebaskan Ahok memerlukan daya upaya yang lebih besar daripada sekadar tekanan lokal. Tekanan internasional adalah jawabannya.

Pertama, Ahok melakukan festivalisasi melalui berbagai instrumen, termasuk aksi lilin yang digelar semalam (10/5) si NTT, Jogja, Manado, Papua, hingga Tugu Proklamasi. Merekayasa seakan-akan ada tekanan dari masyarakat berbagai daerah di Indonesia untuk membebaskan Ahok, membuat pemberitaan media dan framing yang dilakukan semakin tajam untuk membebaskan Ahok.

Kedua, isu-isu yang disampaikan melalui politik simbol dan pseudo event tanpa henti yang dilakukan oleh Tim Ahok diarahkan secara khusus kepada masyarakat dan komunitas internasional dengan menggambarkan bahwa Ahok adalah minoritas yang diperlakukan secara tidak adil oleh hukum. Tujuannya, agar masyarakat dan komunitas internasional terlibat dalam pertempuran, sesuai dengan strategi Tim Ahok. Opini dan tekanan dari berbagai komunitas internasional nantinya akan mempengaruhi opini lokal, nasional, hingga kebijakan pemerintah. Nyatanya, kecaman telah datang dari berbagai negara seperti Belanda dan Inggris, yang terpancing dengan pseudo event, framing pemberitaan media dan LSM yang direkayasa. Bahkan, beberapa pihak diketahui telah menekan PBB agar PBB menekan Indonesia untuk meninjau ulang UU pasal penistaan agama.

Dengan kolaborasi strategi lokal, nasional dan internasional, maka bukan tidak mungkin penangguhan hingga pembebasan Ahok dari jerat hukum akan terwujud. Namun, friksi yang terjadi selanjutnya, tidak akan ada yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun