Mohon tunggu...
Mufid Nur Hasyim
Mufid Nur Hasyim Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dosa Mahasiswa Manja Menulis

21 April 2017   15:56 Diperbarui: 22 April 2017   01:00 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata kuliah Penulisan Public Relation siang ini cukup ramai. Seluruh kepala dikelas berpusing meng-inventarisir seputar kendala menulis yang dialami. Nggak tanggung-tanggung, 15 kendala menulis tercatat besar-besar di papan tulis depan kelas. 

Sesaat kemudian, dimulailah sesi diskusi bersama Bu Ajeng, dosen mata kuliah Penulisan PR, yang mengaduk-aduk dan 'meledakkan' pikiran. Diskusi berlangsung seru dan meriah. Namun, sejenak kemudian ingatan Saya melambung pada diskusi sejarah keilmuan abad pertengahan yang membuat Saya malu dan termenung. 

Suatu pagi, sejarahwan abad kesembilan, Ibnu Jarir at-Thabari, sedang duduk dihadapan para muridnya. Seperti biasa, forum ilmunya ramai dikunjungi. Namun, hari itu Thabari membuat sesuatu yang berbeda. Ia menantang para kolega dan muridnya, "Mari kita menulis buku sejarah dari Nabi Adam hingga saat ini, setebal 30.000 halaman". Para murid dan koleganya tercengang. 

Tantangan ini tidak dapat dijawab oleh murid dan kolega Thabari, dan akhirnya ditanggapi oleh Thabari sendiri. Setelah menyelesaikan buku tarikh (sejarah)-nya, Thabari berkata, "Innalillah, telah mati semangat menulis." Ia menyelesaikan magnum opusnya, Tarikh at-Thabari, yang diringkasnya menjadi 3.000 halaman, dari target semula 30.000 halaman. 

Thabari tidak hidup di masa yang dipenuhi dengan teknologi cetak dan digital yang memudahkan manusia menulis seperti saat ini. Bayangkan, Thabari adalah penulis abad kesembilan, dengan tinta yang terpisah dari pena bulu. Dahulu, kertas adalah barang mahal, yang ukurannya masih tebal. Thabari menulis siang, dan malam hari hanya dengan penerangan seadanya. 

Hari ini, mahasiswa/i beradu canggih memamerkan gadgetnya. Smartphone dan laptop menjadi hiasan sehari-hari di ruang kelas. Namun, beradu canggih dengan teknologi di masa Thabari, berapa banyak karya yang telah dihasilkan oleh para mahasiswa? Atau berapa banyak halaman yang telah ditorehkan karya besar berkualitas? 

Saya terbangun dari termenung. Semanja itukah kami, yang mengeluh ketika diminta menulis, padahal berbagai fasilitas dan kemudahan hadir ditengah-tengah kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun