Mohon tunggu...
Mufid Nur Hasyim
Mufid Nur Hasyim Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tangis Strategis Ahok dan Politik 'Zero Sum Game'

15 Desember 2016   13:09 Diperbarui: 15 Desember 2016   13:21 1986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ahok Masih Dalam Pertempuran

Persidangan Ahok Selasa 13 Desember lalu menurut saya sangat unik, seperti 'reality show' atau sinetron ber-rating tinggi. Bagaimana tidak, suasana persidangan kemarin begitu emosional dan penuh tekanan di sana sini, sama seperti di film layar kaca.

Ahok yang saat ini sedang bertarung dalam Pilgub Jakarta tentu saja tidak akan mundur kebelakang. Biaya materi maupun non-materi yang dikeluarkan oleh Ahok dan pengusungnya sudah terlalu besar. Mundur adalah kesalahan fatal. Maju adalah satu-satunya pilihan bagi Ahok dan pengusungnya. Ini adalah permainan zero-sum game.

Bagi para pemain zero sum game, setiap detik dalam waktu dan setiap jengkal dalam ruang adalah modal dan sumberdaya berharga, yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Ia harus mampu melihat berbagai peluang dan kemungkinan yang terjadi dalam detik. Dan persidangan pun menjadi medan permainan dan pertarungan zero sum game Ahok kali ini.

Hernan Cortez dan Ahok dalam Zero Sum Game

Tahun 1519, Hernan Cortez mendarat di Meksiko dengan armada kapalnya di pantai timur Meksiko. Hanya berbekal 500 pasukan, Cortez bertekad menakhlukkan kekaisaran Aztec yang memiliki lebih dari setengah juta pasukan. Setelah menghadapi kenyataan tersebut, apa yang dilakukan Cortez? Ia melubangi kapal-kapalnya, dan menenggelamkannya. Tidak ada pilihan untuk kembali ke Spanyol atau Cuba. Cortez dan pasukannya terjebak bersama musuhnya. Pilihannya hanya satu: Zero sum game. Anak buah Cortez sangat marah, bingung, dan ingin membunuh Cortez atas apa yang Ia lakukan.

Ditengah kebingungan, kepanikan dan orang-orang yang mulai kehilangan akal sehatnya, Cortez mengumpulkan semua anak buahnya. Dalam forum tersebut Cortez mengaku bertanggung jawab atas semuanya. Ia terus membesarkan perasaan anak buahnya. Dalam kesempatan tersebut, Cortez juga menangis untuk semakin meyakinkan dan meningkatkan moralitas anak buahnya. Dan di akhir, dengan hati-hati ia berkata kepada anak buahnya, bahwa mereka-lah yang terpilih untuk menakhlukkan suku Aztec. Ia membebaskan siapa yang ingin pulang, dan siapa yang ingin melanjutkan perjuangan bersamanya. Akhirnya, seluruh anak buah Cortez sepakat untuk melanjutkan perjuangan bersamanya. Setelah bersekutu dengan berbagai suku, tepat dua tahun setelah peristiwa penenggelaman kapal tersebut, Cortez berhasil menakhlukkan Tenochtitlán, pusat kekuasaan Aztec.

Permainan emosi adalah cara lama para jenderal dan panglima perang untuk meningkatkan moralitas pasukannya, dan menyerang mental musuhnya. Alexander, Hannibal, Napoleon, dan banyak lagi telah menggunakannya. Dengan mempermainkan emosi, para jenderal terdahulu meletakkan anggapan yang kuat kepada pasukannya bahwa mereka adalah kebenaran, dan musuh mereka adalah kejahatan yang layak untuk dihancurkan. Para jenderal menanamkan perasaan dan kesan kepada pasukannya seakan mereka sedang berperang dalam perang suci, perang pembelaan diri.

Persidangan Selasa lalu juga merupakan medan tempur politis zero sum game bagi Ahok dan lawan politiknya untuk memenangkan hati pendukung dan masyarakat. Dengan tidak kentara Ahok menyerang dengan tangisan. Goal Ahok dalam persidangan sangat jelas: Ia ingin menyampaikan secara tersembunyi dan menanamkan kedalam alam bawah sadar masyarakat bahwa 'Aku (Ahok) tidak bersalah dan Aku adalah korban'. Ahok ingin menempatkan dirinya tidak berasalah, dan Buni Yani lah yang seharusnya dipersalahkan dalam kasus ini.

Bagaimana Tangis Bekerja dalam Pikiran Kita?

Media massa meliput sesi persidangan dan menayangkannya ke seluruh dunia. Inilah peluang bagi Ahok dan Timnya untuk memainkan strateginya.

Dalam ilmu Psycology Dynamics dan NLP, pikiran kita memiliki 2 bagian: sadar dan bawah sadar. Pikiran bawah sadar berfungsi sebagai penyimpan informasi jangka panjang, yang nantinya menjadi kepercayaan/belief, yang sifatnya absolutely truth dan menjadi dasar bagi perkataan dan perilaku kita. Sedangkan pikiran sadar atau critical factor berfungsi sebagai filter yang mengkritisi, menganalisis dan membatasi segala informasi yang akan masuk ke pikiran bawah sadar.

Pikiran sadar atau critical factor yang berperan sebagai filter dapat dimatikan dengan informasi bermuatan emosi. Ketika pikiran sadar yang menjadi filter ini mati, maka informasi akan mudah masuk kedalam pikiran bawah sadar. Setelah masuk kedalam pikiran bawah sadar, berikutnya informasi tersebut akan menjadi kepercayaan dan perilaku.

Praktiknya, seseorang menangis ketika melihat tayangan sinetron yang sangat emosional. Di saat-saat emosional tersebut, pikiran sadar atau critical factor yang menjadi filter orang tersebut mati. Tiba-tiba, ditengah momen yang emosional tersebut, muncul sebuah iklan. Maka, informasi dalam iklan tersebut akan pengaruhi pikiran bawah sadar kita.

Ahok juga melakukan ini. Dengan tangisannya, ia mematikan critical factor masyarakat. Setelah itu, ia mengatakan secara implisit bahwa 'aku tidak bersalah, namun aku hanya korban'. Perkataan implisit tersebut masuk ke bawah sadar masyarakat, dan terkonversi menjadi perilaku.

Our Brand is Crisis

Jika saya terlibat sebagai konsultan pencitraan dan brand yang manipulatif dalam kasus Ahok seperti ini, maka saya juga akan menyarankan Ahok untuk berakting menangis, sebagai strategi saya dalam pertempuran persidangan. Saya juga akan menggunakan seluruh amunisi yang mampu saya gunakan untuk membangkitkan respon emosional dari masyarakat dan mendapatkan simpati mereka.

Anda bisa melihat film Our Brand Is Crisis yang dimainkan oleh Sandra Bullock. Dalam film tersebut, calon Presiden yang berwatak kasar 'disuruh' untuk berakting menangis, bahkan diatur kapan waktu yang tepat si calon Presiden harus menangis, padahal menangis bukan bagian dari karakter si calon Presiden tersebut.

Jadi, tangis Ahok disini bukan hanya sekadar reaksi alamiah Ahok dalam persidangan, namun telah direncanakan sebelumnya oleh tim dibelakangnya, termasuk seluruh momen emosional tentang Ahok yang kini beredar luas di media konvensional maupun sosial media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun