Mohon tunggu...
Mufid Muhammad Baihaqi
Mufid Muhammad Baihaqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Biasa

Memiliki ketertarikan dalam bidang ilmu humaniora, khususnya dalam bidang sejarah dan kebudayan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kebingungan Saya menjadi Pejalan Kaki di Indonesia

15 September 2024   09:34 Diperbarui: 15 September 2024   13:31 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Selama saya sekolah hingga kuliah, saya sering berjalan kaki, sampai sekarang pun saya masih melakukannya. Kebingungan ini sebenarnya sudah ada di benak saya sedari dulu, hanya saja saya baru sempat mencurahkannya sekarang melalui tulisan ini, karena beberapa jam yang lalu ketika saya sedang scrolling media sosial, saya melihat sebuah postingan meme yang membahas pejalan kaki di Indoneisa (saya lupa menyimpannya dan sudah berusaha mencarinya, namun saya tidak menemukannya untuk diunggah di sini).

Kebingungan teman-teman saya

Berjalan kaki memang sudah menjadi kebiasaan saya sedari kecil, sejak SD saya pulang sekolah dengan jalan kaki, hanya sekitar 30 menitan dari sekolah sampai ke rumah---yang menurut pendapat saya itu sebentar---bersama teman-teman kelas saya yang lain. Setelah saya lulus SD, saya lanjut SMP, kebiasaan berjalan kaki ini saya lakukan juga, hanya saja reaksi teman-teman saya berbeda jauh dibandingkan ketika saya SD, mereka bingung juga menganggapnya aneh, mereka bertanya "kenapa tidak menggunakan transportasi umum atau kendaraan pribadi?", pada saat itu saya hanya menjawab "malas aja". Selama 3 tahun di SMP teman-teman saya selalu menanyakan hal yang sama dan tentu saja ku jawab dengan jawaban yang sama. Di sisi lain, saya juga bingung dengan mereka, kenapa berjalan kaki dengan jarak 3 km-an yang memakan waktu 30--40 menitan---jarak dari SMP ke rumahku---itu terlihat aneh bagi mereka? Pada saat itu saya hanya hanya membiarkan pertanyaan mereka tanpa berusaha mencari jawabannya. Ketika SMA, saya masih mendapatkan reaksi yang sama dari teman-teman dan lagi-lagi saya hanya memberi jawaban yang sama.

Apakah saya sering menggunakan kendaran umum? Tentu saja saya menggunakannya ketika berangkat sekolah, ketika pulang sekolah pun terkadang saya menggunakan kendaraan umum, meskipun cenderung berjalan kaki. Selain alasan itu adalah suatu kebiasaan saya sedari kecil, alasan lainnya ialah karena akses kendaraan umum di negara saya yang buruk, aksesibilitasnya yang rendah, harganya yang lumayan mahal, kenyamannnya yang kurang, terkadang mereka memberikan harga seenaknya, juga macetnya jalanan yang membuat saya lebih memilih berjalan kaki.

Ketika masuk di perkuliahan, saya menjadi 'agak' sering menggunakan transportasi umum, ketika berangkat ke dan pulang dari kampus. Ini karena jarak rumah ke kampus saya kurang lebih 16 km-an. Terkadang seminggu sekali---dan jika tubuh saya sedang fit---saya sempatkan berjalan kaki dari kampus ke rumah yang memakan waktu 4 jam. Ketika teman-teman kuliah saya mengetahui hal ini, reaksi mereka tidak jauh berbeda dengan teman-teman sekolah SD-SMA saya dulu. Hingga sekarang setelah lulus kuliah, saya masih sering berjalan kaki minimal 10 km setiap minggunya.

Gembel darimana ini?

Selain reaksi dari teman-teman saya, tentu saja saya juga sering mendapatkan tatapan-tatapan---meskipun sekilas---yang saya pikir aneh atau entah kasihan atau iba saya tidak tahu mana yang benar, karena ini hanya asumsi liar saya, dari orang asing yang saya temui di jalan. Tatapan orang-orang asing ini secara tidak langsung---yang saya tafsirkan---seperti mengatakan "gembel darimana ini?", yang membuat saya seperti orang aneh bagi mereka. Tatapan mereka seringkali saya hiraukan saja.

Saya juga sering mendapatkan tawaran untuk menumpang dari orang-orang asing yang lewat ketika saya berjalan kaki. Terkadang saya terima, terkadang saya tolak karena saya yang sedang ingin berjalan kaki saja sembari menikmati hiruk-pikuk kegiatan orang-orang di jalan.

Selain tawaran menumpang, saya juga terkadang mendapatkan kenalan baru ketika sedang beristirahat, entah itu yang seumuran dengan saya ataupun orang lain yang lebih tua. Saya berbicara dengan mereka beberapa menit sebelum melanjutkan berjalan kaki. Beberapa dari mereka bahkan menjadi teman akrab saya hingga sekarang.

Lebih membingungkan lagi, pada satu waktu, salah satu teman saya membeli treadmill---pada saat itu tren olahraga dan gym sedang naik---yang membuat saya bingung. Pertanyaan yang pertama kali muncul di benak saya ketika mendengar itu ialah "kenapa mesti membeli treadmill? bukankah jalan kaki itu gratis?", kebingungan ini semakin bertambah karena tidak mengubah apapun dari temanku, ia tetap malas berjalan kaki di luar ruangan, yang membuat saya mengansumsikan ia membeli treadmill hanya karena fomo saja, tidak lebih dan tidak kurang dari itu.

Pengalaman lainnya---yang terjadi beberapa minggu yang lalu---ketika saya berjalan kaki bersama teman saya---sebut saja Bob---kami diikuti oleh tiga anak kucing yang lucu dan menggemaskan. Awalnya kami kaget karena tiba-tiba kaki kami menendang sesuatu, setelah kami melihat ke bawah ternyata kami menendang anak kucing, lalu kami lanjut berjalan kaki, namun ketika kami melihat lagi ke bawah, ternyata anak kucing itu mengikuti kami. Saya dan teman saya berhenti sejenak lalu putar balik untuk mencari induknya, namun kami tidak menemukannya. Pada akhirnya kami memutuskannya untuk membawa mereka.

Banyak lagi pengalaman aneh yang saya alami selain itu yang tidak mungkin saya curahkan semuanya disini.

Keluh-resah saya

Satu waktu saya sempat berbicara dengan pacar saya, karena ia juga pejalan kaki, mengenai keluh-resah sebagai pejalan kaki. Kami berbicara mengenai fasilitas trotoar di Indonesia yang tidak ramah bagi para pejalan kaki. Mulai dari trotoar yang sempit, trotoar yang digunakan oleh pedagang kaki lima, jalannya yang buruk, banyaknya poster-poster calon pejabat yang menghalangi trotoar, sampah-sampah yang berserakan di pinggir trotoar, hingga para pengguna kendaraan bermotor yang menggunakan trotoar untuk menerobos kemacetan, juga aksesibilitas yang rendah untuk orang-orang disabilitas. Hal yang tidak mengenakan lainnya---khususnya ketika musim hujan---ialah terkena cipatran dari kubangan air di jalan akibat pengendara yang terlalu cepat.

Saya yakin, nasib trotoar yang 'agak baik' itu hanya ada di pusat kota. Sedangkan semakin ke pinggir kota, nasib trotoar bagi pejalan kaki semakin buruk. Ada juga kejadian---yang saya sayangkan---di beberapa kota, trotoar untuk pejalan kaki dipotong untuk memperluas lebar jalan untuk kendaraan, yang mereka---para pemerintah---pikir sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan. Tentu saja ketika jalan sudah dilebarkan, kemacetan tidak berkurang sedikitpun, malah saya pikir bertambah parah saja.

Akhir dari tulisan ini

Dari keanehan yang saya alami hingga keadaan trotoar di Indonesia yang buruk. Terkadang saya berharap agar adanya perbaikan pada trotoar sehingga saya---dan yang sama seperti saya---bisa berjalan kaki dengan lebih nyaman di Indonesia. Juga terbentuknya persepsi orang-orang bahwa berjalan kaki itu ialah hal yang normal untuk dilakukan. Meskipun saya yakin bahwa hal itu terdengar mustahil terwujud.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun