Mohon tunggu...
Mufi Dini
Mufi Dini Mohon Tunggu... Jurnalis - Rasa Aksara

Rasa aksara untuk wawasan kita semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kue Perantara

20 November 2020   05:55 Diperbarui: 21 November 2020   08:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sang ibu pun langsung mendekati. Tanpa bertanya apapun, tangan cantiknya mengelus lembut punggung putranya. Bukannya semakin tenang, sang anak malah semakin mengeraskan suara tangisnya. Sang ibu sedikit terkejut. Kemudian tersenyum dan mencoba untuk berbicara dengan putra bungsunya.

"Kenapa? Hmm?,"ucap sang Ibu sambil mencari-cari wajah si bungsu yang masih enggan beranjak di balik guling.
"Adik pokokmen ngga mau ngaji di Pak Alwan. Pak Alwan nakal. Adik tadi dimarahin Pak Alwan. Huwaaa..., " ucap Romi sambil menampakkan wajahnya dan langsung memeluk sang Ibu.

"Pasti Pak Alwan ada alasannya to marahin adik?," ucap sang Ibu sambil mengusap lembut rambut putranya yang sudah basah oleh keringat.

"Adik itu tadi ngga usil. Adik tadi... tadi adik jualan kuenya Ibuk... Huwaaa..., " ucap Romi sambil tersedu. Romi mendongak. Menemukan mata indah ibunya. "Adik... adik b-besok ngga mau jualan kue. Adik dimarahin gara-gara jual kue. Adik nggak mau Buk!," ucap Romi sambil menatap pada ibunya cemas. Seketika raut wajah sedih tercetak di wajah ibunya.

"Yaudah, besok mending ibuk jualan di depan rumah aja. Tadi gimana? Banyak yang beli to berarti. Udah tinggal setengah lho ini. Wah adik pinter jualan ternyata...," ucap sang ibu sambil tersenyum pada putranya. Mencoba menghibur si bungsu yang memang gampang merajuk. 

Yang dihibur masih terdiam merenung. Rasa sakit hati masih menggumpal di bagian dadanya. Ia merasa tak terima mendapati sentakan kemarahan dari mulut sang guru ngaji. Ia merasa dipermalukan. Kenapa hanya dirinya yang kena marah. 

Lagipula, kesalahan yang ia perbuat bukan tindakan yang benar-benar ia sengaja lakukan. Ini bukan murni kesalahannya. Kenapa banyak sekali orang yang mengecapnya nakal? Padahal terkadang mereka hanya melihat sekilas. Tanpa mencoba menelusuri kilas baliknya. Dirinya tak mau disebut anak nakal. Dirinya bukan anak nakal. Tak seberapa lama, datanglah seseorang dari luar menuju kamar Romi. Siapa lagi kalau bukan, Rani.

"Assalamualaikum..., " ucap Rani dengan wajah penasaran mencari sosok ibunya. Ia pun masuk menuju kamar Romi. Mengulangi ucapan salam nya. "Assala...mualaikum..., " mata Rani langsung membelalak mendapati sang adik memeluk ibunya. 

Rasa penasarannya langsung membumbung tinggi. Tanpa menghiraukan jawaban salam dari ibunya, Rani langsung mendekati tubuh Romi. Ya, Rani tidak tahu apa yang terjadi dengan adiknya. Mereka berbeda tingkatan. Romi masih kelas satu dan ia belajar di bagian teras sementara Rani sudah kelas dan ia belajar di bagian ruang tamu. 

"Kenapa Dek? Kena marah Pak Alwan? Iya to? Udah tak bilangin jangan usil to," ucap Rani yang terdengar memekakkan telinga Romi.

"Kakak wae nggak tau yang terjadi sebenarnya, jangan kaya gitu....," ucap Romi membela diri. Ia tentunya tak terima selalu disalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun