Mohon tunggu...
Mufi Dini
Mufi Dini Mohon Tunggu... Jurnalis - Rasa Aksara

Rasa aksara untuk wawasan kita semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kue Perantara

20 November 2020   05:55 Diperbarui: 21 November 2020   08:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara jangkrik kian riuh menyahut. Cahaya mentari mulai tergantikan dengan terangnya rembulan. Dua bocah yang tak lain dan tak bukan adalah, Rina dan Romi, berjalan beriringan. Canda tawa menguar dari mulut mereka. Berbagai cerita habis sudah mereka ceritakan hingga berbusa-busa.

Mereka berdua merupakan saudara kandung. Rina, yang kehilangan sosok ayah di usia empat tahun dan Romi yang terlahir tanpa figur seorang ayah. Ya, mereka adalah anak yatim. Romi, yang kini telah berusia delapan tahun, selalu tampil dengan sikap kekanak-kanakannya. Sementara si sulung, Rani mulai memahat diri menjadi orang yang lebih dewasa dalam menyikapi berbagai hal.

Mereka menimba ilmu di sekolah yang sama, yaitu SD Negeri Mataram Jaya. Rani sudah menduduki kelas enam sekolah dasar. Tinggal menghitung bulan ia akan lulus dari sekolahnya itu. Sementara si bungsu, Romi masih duduk di kelas dua sekolah dasar.

Meskipun sikap manja selalu ia tunjukkan pada sang kakak, namun dibanding dengan kawan-kawan seusianya, ia sudah lebih dewasa dalam menyikapi  suatu hal. Hidup di keluarga yang serba pas-pasan bahkan tak jarang dihadapi dengan krisis ekonomi yang datang bertubi, seakan menjadi alat pemahat kepribadian Romi.

Kini mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju tempat  mengaji. Kedua tangan mereka tak menganggur begitu saja. Keduanya sama-sama membawa keranjang berisi kue-kue yang nantinya akan mereka jajakan di tempat mereka mengaji.

Ini adalah hari pertama mereka  menjajakan kue-kue buatan sang ibu di tempat mereka mengaji. Mulai dari bakpao, gethuk, dan klepon sudah tertata rapi menghiasi keranjang bambu mereka yang senada. Wajah sumringah terpampang jelas di wajah mereka. Berbagai macam harapan telah berkeliling menghiasi isi kepala mereka.

Maklumlah, ini adalah hari pertama mereka menjajakan makanan-makanan ringan. Sang Ibu yang tak pernah kehabisan akal, memanfaatkan modal yang ada untuk usaha makanan kecil-kecilan ini.

Sebenarnya, ibu Rani dan Romi bekerja di salah satu rumah makan di dekat kota. Hanya saja, rumah makan tersebut yang awalnya sungguh ramai dikunjungi, perlahan tapi pasti mulai mengalami kebangkrutan. Akhirnya, beberapa karyawan pun harus diberhentikan. Sayangnya, ibu Rani dan Romi adalah satu diantara beberapa pekerja yang harus diberhentikan itu.

"Dek, kamu itu rek Pak Alwan udah rawuh mbok ya anteng," ucap Rani tak tertahankan setelah beberapa kali melihat keusilan adiknya selama mereka mengaji di rumah Pak Alwan.

Mimik kesal bercampur cemas terpampang menghiasi wajah ayunya. Hidung mancung dan pipi tirus serta kulit yang eksotis membuat Rani tampak cantik meski menampakkan wajah tertekuk. Wajah ayunya itu tak lain tak bukan adalah turunan dari wajah ibunya. Jangan lupakan hidung yang menempel manis di antara kedua pipi tirusnya. Hidung mancung itu turunan dari almarhum ayahnya.

"Nggih,"ucapnya dengan ekspresi kesal karena harus mendengar nasihat kakaknya yang selalu diulang berkali-kali. Wajah cerianya tergantikan dengan ekspresi kesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun