Naskah Melayu itu bertuliskan Aksara Incung. Naskah Incung dapat ditemukan dalam peninggalan-peninggalan bertulis leluhur Kerinci yang disimpan dengan sangat rapi di masing-masing rumah gedang. Teman saya yang seorang Arkeolog menduga penulis naskah tersebut adalah Kuja Ali, seorang muslim.
Masyarakat Kerinci adalah masyarakat Muslim yang berbudaya atau beradat. Hampir 100 persen penduduknya adalah penganut Islam. Di saat yang sama, masyarakat Kerinci mempraktikkan adat secara turun temurun.Â
Salah satu nilai adat yang paling dipertahankan oleh masyarakat adat Kerinci adalah kearifan lokal tentang pengelolaan tanah yang diatur oleh adat menurut sistem matrilineal.
Dalam beberapa studi, menyebut bahwa Kerinci pada masa lalu adalah masyarakat yang dipimpin oleh sistem kedepatian. Ini berciri utama bahwa dalam satu wilayah negeri yang disebut adat sistem pemerintahannya dipimpin secara hirarki oleh Depati, Teganai dan Anak Jantan.
Beberapa persoalan polemik tentang Kerinci yang masih tersisa sampai hari ini seperti konflik antar desa sebenarnya adalah bagian dari kuasa depati antar daerah yang ingin mempertahankan wilayahnya masing-masing.Â
Di sisi lain, politik identitas yang berkembang dahulu kala menghasilkan beragam macam tradisi dan adat yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Umumnya masyarakat Kerinci sadar akan perbedaan dialek setiap desa. Bahkan, ico pakai (praktik adat sendiri) juga berbeda di setiap desa.
Hari ini, masyarakat Kerinci memiliki filosofi yang mengakar kuat bahwa mereka adalah penganut Islam yang mengedepankan nilai luhur "adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah".
Muatan Lokal Incung, Inspirasi Memahami Kerinci yang kaya
Saya memiliki pemahaman bahwa alasan utama kenapa kita mesti belajar tentang sejarah bukan agar sejarah itu diulang atau dipraktikkan sebagaimana dahulunya. Ini adalah pandangan yang juga sempit dan fanatik.Â
Saya memahami kepentingan belajar sejarah ini karena itu akan menjadi upaya paling bagus untuk memproyeksikan masa lalu yang kuat dalam rangka memetik kearifan dan hikmah untuk menjadi modal menghadapi tantangan hari ini.Â
Saya teringat, dosen saya di UIN Jakarta, Prof. Oman Fathurrahman pernah bercerita tentang satu desa di Aceh yang selamat dari Tsunami tahun 2006 lalu, karena masyarakat di daerah itu mampu membaca isyarat alam dari leluhur mereka. Mereka bisa menghindar dari Tsunami dengan pergi ke atas bukit.