Perbedaan pendapat di kalangan ulama, terkhusus dalam ranah fikih, adalah realitas umat Islam yang harus kita terima. Kita tidak perlu bersusah payah membatalkan kebolehan perbedaan pendapat di kalangan ulama dengan berdalih untuk menyatukan umat, sebagaimana yang digaungkan oleh sekelompok orang. Terlebih lagi mereka berusaha mengajak umat untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis dan meninggalkan pendapat para ulama.
Imam Malik bin Anas yang merupakan salah satu imam mazhab fikih Ahlus Sunnah pun mengakui bahwa perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu adalah hal yang lazim terjadi. Di mana suatu ketika saat musim haji, Khalifah Harun Al-Rasyid yang kala itu juga melaksanakan haji mendengar pembicaraan orang-orang tentang kitab Al-Muwaththa yang ditulis oleh Imam Malik. Khalifah ingin menyimpan kitab Al-Muwaththa di Kakbah dan menyeru umat untuk mengamalkan pendapat Imam Malik dalam kitabnya.
Namun, Imam Malik menyampaikan sudut pandang lain yang berbeda dengan maksud sang Khalifah, "Engkau tidak perlu melakukan hal tersebut, wahai Khalifah. Sungguh Para Sahabat Rasulullah Saw. berbeda pendapat dalam permasalahan fikih. Mereka juga menetap di daerah yang berbeda-beda. Semuanya insya Allah --meskipun berbeda pendapat dalam suatu permasalahan-- mendapat pahala dari Allah Swt." Khalifah Harun Al-Rasyid pun setuju dengan Imam Malik.
Dari penjelasan Imam Malik tadi, kita memahami bahwa jika Para Sahabat yang diajar langsung oleh Rasulullah Saw. dan menyaksikan turunnya wahyu bisa saling berbeda pendapat, maka hal ini juga pasti terjadi di generasi selanjutnya. Bahkan, Rasulullah Saw. secara tidak langsung telah mengakui dan memberi isyarat bahwa para ulama akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap dalil, yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat. Hal ini sebagaimana terjadi dalam salah satu momen perang Bani Quraizhah.
Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw. mengintruksikan Para Sahabat untuk berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah. Bahkan, agar Para Sahabat bergegas dan tiba dengan cepat, Rasulullah Saw. bersabda
"Janganlah ada seorang pun yang melaksanakan salat Asar kecuali di Bani Quraizhah." (HR. Bukhari)
Sebagian Sahabat melaksanakan salat Asar ketika mereka sampai di Bani Quraizhah, sebagaimana hadis Nabi Saw. secara lahiriah. Akan tetapi, Sahabat lainnya melaksanakan salat Asar di tengah perjalanan menuju Bani Quraizhah. Kelompok Sahabat ini memahami bahwa maksud larangan Nabi Saw. dalam Hadis di atas adalah agar Para Sahabat mempercepat langkahnya. Beberapa waktu kemudian, Para Sahabat memberanikan diri untuk bertanya mengenai perbedaan yang terjadi di kalangan mereka dalam memahami sabda Beliau Saw. Akan tetapi, Rasulullah Saw. tidak menegur dan memarahi seorang pun dari mereka.
Lalu, mengapa para ulama di berbagai lintas generasi bisa berbeda pendapat dalam permasalahan fikih?
Sebelum lebih lanjut membahas hal ini, perlu ditegaskan bahwa para ulama --yang telah memenuhi kriteria sebagai mujtahid dan memiliki otoritas untuk berpendapat-- tidaklah menetepkan suatu hukum atas permasalahan tertentu berdasarkan keinginan dan hawa nafsu. Akan tetapi, dalam menetapkan suatu hukum fikih, para ulama berpegang pada dalil dan kaidah yang diperoleh melalui penelitian terhadap ayat Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Maka, ketika kita berpegang kepada salah satu pendapat ulama, secara tidak langsung kita telah berpegang dan kembali kepada Al-Quran dan Hadis.
Salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah adanya perbedaan metode dan kaidah yang mereka gunakan untuk merumuskan hukum. Fikih yang merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap dalil telah melalui proses penggalian dengan metode dan seperangkat kaidah yang ada. Metode dan kaidah tersebut dibahas secara komprehensif dalam satu disiplin ilmu yang diistilahkan dengan Ushul Fikih.
Sebagai pengantar, untuk memahami Ushul Fikih, dalam konteks ini kita perlu memperhatikan makna Ushul Fikih sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajib. Dalam kitab Mukhtashar al-Muntaha beliau memberikan pengertian Ushul Fikih secara terminologi sebagai berikut
Ilmu tentang seperangkat kaidah yang dengannya bisa diketahui (metode) pengambilan hukum syarak yang bersifat cabang (praktis) melalui dalil-dalil terperinci.
Di antara contoh kaidah ushul yang dimaksud adalah:
1.Perintah yang bersifat mutlak menunjukkan wajib ( ).
2.Larangan yang bersifat mutlak menunjukkan haram ( ).
3.Al-Quran adalah hujjah dalam menjelaskan hukum ( ).
Dari perspektif lain, kaidah ushul juga disebut dengan dalil global ( ), yaitu dalil yang tidak berkaitan dengan sesuatu yang parsial. Semua ayat dan hadis yang datang dalam bentuk perintah yang mutlak masuk dalam kaidah pertama, apapun perbuatan yang diperintahkan.
Adapun yang dimaksud dengan dalil terperinci ( ) adalah dalil yang berkaitan dengan sesuatu yang parsial. Contohnya firman Allah Swt.
...
"Laksanakanlah salat..." (QS. Al-Baqarah 2:43)
Ayat ini khusus membahas tentang salat dan tidak memiliki kaitan dengan ibadah selain salat. Olehnya disebutlah dalil yang seperti ini dengan dalil terperinci, yaitu dalil yang khusus berkaitan dengan sesuatu yang parsial dan tidak memiliki kaitan dengan hal lain.
Memahami Ushul Fikih adalah hal urgen. Sebab jika hanya berpegang pada dalil terperinci saja tidaklah cukup. Misalnya jika kita membaca firman Allah Swt.
...
"Tunaikanlah zakat..." (QS. Al-Baqarah 2: 43)
Kita mengetahui bahwa ayat ini berisi tentang perintah menunaikan zakat. Akan tetapi kita tidak mengetahui apakah perintah menunaikan zakat ini bersifat wajib, sunnah, atau pilihan? Hal ini karena dalil-dalil yang menunjukkan perintah ada yang bersifat wajib, ada yang sunnah, serta ada yang menunjukkan kebolehan antara mengerjakan atau tidak. Olehnya, Ushul Fikih memberitahukan kita bahwa hakikat perintah yang mutlak menunjukkan wajib, dan tidak boleh dimaknai selain wajib kecuali jika ada indikasi yang memalingkan perintah itu dari makna hakikinya.
Kita bisa membuat silogisme kategoris untuk sampai pada konklusi bahwa salat adalah wajib.
*Premis minor: lafal dalam firman Allah Swt. adalah perintah (ini adalah dalil terperinci).
*Premis mayor: semua perintah menunjukkan wajib (ini adalah dalil global).
*Konklusi: lafal dalam firman Allah Swt. menunjukkan wajibnya salat.
Contoh di atas dihadirkan sebagai pendekatan bagaimana bentuk penerapan Ushul Fikih dalam merumuskan hukum. Tentu saja ketika kita lebih lanjut membahas Ushul Fikih, akan kita dapati bahwa para ulama memiliki metode dan kaidah tersendiri, yang menyebabkan berbedanya hukum yang dihasilkan. Pembahasan tersebut akan dimuat di tulisan-tulisan selanjutnya.
Sekiranya Ushul Fikih tidak diterapkan, maka tidak ada seorang pun yang bisa merumuskan hukum syarak dari dalil terperinci. Orang-orang yang berani berpendapat tetapi tidak memiliki kecakapan dalam Ushul Fikih berpeluang besar untuk menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan atau mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan. Munculnya kelompok yang berani menghujat para ulama terdahulu disebabkan karena ketidaktahuan mereka mengenai tata cara merumuskan hukum syarak. Dan sekiranya mereka memiliki pengetahuan bahwa para ulama senantiasa menyatakan pendapatnya dengan berlandaskan dalil, maka mereka tidak akan menghabiskan energi dan waktu untuk mengajak orang-orang kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H