Mohon tunggu...
mufa riha anggina
mufa riha anggina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Baca komik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilmu Geografi dalam Kurikulum Indonesia

21 Juni 2022   12:55 Diperbarui: 21 Juni 2022   16:58 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH:MUFA RIHA ANGGINA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 

FAKULTAS TARBIYAH&KEGURUAN

PRODI TADRIS IPS

Pendidikan Geografi di Indonesia

Merujuk kepada Pendapat Parjito (2015), telah merumuskan kajian tentang kondisi Pendidikan Geografi saat ini di Indonesia yang didasari dengan kajian konten geografi dalam dua kurikulum yang berlaku terakhir ini, yaitu kurikulum 2006 dan kurikulum 2013. Dilihat dari materi (konten) yang disajikan dua kurikulum tersebut jauh berbeda, hanya saja dalam kurikulum 2013 ada penambahan beberapa materi. Beberapa catatan yang dapat disampaikan terkait konten dari dua kurikulum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan (perspekktif) geografi masih diberikan sebagai pengetahuan secara terpisah dari konten. Dimana pendekatan geografi disampaikna pada semester I dan menjadi bagian dari “pengetahuan dasar geografi”. Dengan penyajian yang seperti ini, perspektif hanya dipahami saja atau bahkan hanya dihafal saja oleh siswa. Hal ini dapat diketahui bahwa hampir semua siswa dengan sangat terampil jika diminta menyebutkan pendekatan geografi, namun siswa akan sangat kesulitan jika diminta menganalisis fenomena yang ada di sekitar mereka dengan menggunaan pendekatan keruangan. Seharusnya sebagaimana kami sampaikan sebelumnya bahwa perspektif ini, disampaikan menyatu dengan konten. Artinta setiap bicara konten harus selalu menggunakan perspektif geografi.
b. Alat (tools) geografi (dalam dua kurikulum tersebut adalah peta SIG) diberikan di kelas XII semester I. menurut hemat kami ini adalah kesalahan yang harus segera dilakukan pembenahan. Alat geografi berfungsi sebagai alat bantu untuk melakukan analisis spasial. Peta salah satu alat komunikasi yang sangat penting bagi geograf. Peta dapat dijadikan sebagai sumber data dan peta dapat dijadikan alat untuk memudahkan menyampaikan laporan geografi. Dengan demikian alat seharusnya disampaikan pada kelas X semester I, sehingga pada semester – semester berikutnya setiap mengkaji fenomena (konten) dapat dibantu dengan menggunakan alat (tools) tersebut. Dalam kurikulum (2006) mengkaji peta dikaitkan dengan menganalisis lokasi industry dan pertanian. Hal yang semacam ini dapat menimbulkan kesan bahwa peta hanya untuk menganalisis lokasi industry dan pertanian saja. Pada sebenarnya tidaklah demikian. Demikian juga dengan materi SIG dan pengindraan jauh.
c. Kurikulim 2013, pada kelas X (Semester I) disampaikan langkah-langkah penelitian geografi, dimana materi tidak ada pada kurikulum sebelumnya. Menurut kami materi tersebut sangat memberatkan siswa dan lagi hanya pada pembelajaran geografi saja mencantumkan langkah penelitian menjadi bagian dari materi. Apabila dipaksakan materi tersebut disampaikan kepada siswa maka kemungkinan siswa sekedar dihafal atau dipahami saja.
d. Berdasarkan pada silanus geografi 2013, kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, mengomunikasi (5 M) menjadi kegiatan pembelajaran geografi. Hal ini sesuai
dengan kurikulim 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik. Menurut hemat kami kegiatan tersebut sangat penting untuk dikembangkan pada siswa, sehingga siswa memiliki berbagai keterampilan tersebut.
e. Sebagaimana yang dikemukakan Geography For Life: National Geography Standards (2012), geografi memiliki 6 keterampilan yakni Posing Geographic Queations, Acquiring Geographic Information, Organizing Geographic Information, Analyzing Geographic Information, Answering Questions And Designing, Communicating Geographic Information. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterampilan geografi sudah melebihi keterampilan yang dimuat oleh kurikulum 2013.
f. Berdasarkan kajian terhadap Buku Guru Geografi (kurikulum 2013), masih terlihat bahwa perspektif (pendekatan) geografi masih belum digunakan untuk mengkaji setiap fenomena yang dipelajari.
Visi Pendidikan Geografi Abad XXI
Selanjutnya, Parjito (2015) melengkapi kajiannya dengan mencoba merumuskan Visi Pendidikan Geografi Abad 21 sebagai berikut:
a. Perubahan dimulai dari perubahan kurikulum pendidikan geografi di sekolah, terutama SMA dan akan lebih baik apabila geografi dapat mewarnai kurikulum pada jenjang SD dan SMP.
b. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan adalah menyatukan antara konten, perspektif, dan keterampilan geografi.
c. Terkait dengan konten, perspektif dan keterampilan dapat mengadaptasi kurikulum geografi yang dikembangkan di AS. Dimana konten geografi ada 6 elemen dasar yakni the world in spatial terms, places and regions, physical systems, human systems, environment and society, the uses of geography. Persektif geografi adalah persektif spasial dan ekologis.Tidak dimasukkannya persektif kompleks wilayah adalah berdasarkan tingkat kompleksitas analisis, dimana analisis kompleks wilayah sangat rumit dan sangat membingungkan guru maupun siswa. Sedangkan keterampilan geografi ada 6 yakni adalah Posing Geographic Queations, Acquiring Geographic Information, Organizing Geographic Information, Analyzing Geographic Information, Answering Questions And Designing, Communicating Geographic Information.
d. Perubahan kurikulum diikuti dengan penyiapan buku baik untuk guru maupun siswa.
e. Dilakukan pelatihan untuk guru.
f. Penyesuaian kurikulum untuk LPTK.
Selanjutnya, Nofrion & Suasti (2015) menyatakan bahwa terkait dengan pembelajaran geografi
Abad 21 guru harus merubah “mind set” dalam lima hal berikut ini:
a. Pembelajaran di kelas bukan lagi dominasi guru melalui praktik mengajar dengan pola “menyuapi” peserta didik (spoon feeding) dan siswa “mencawan”, Tapi, pembelajaran adalah kombinasi antara mengajar dengan kegiatan belajar. Mari ciptakan student-directed learning dan tinggalkan teacher-dominated teaching. Jika guru masih saja bertahan dengan pola “mengajar” maka hanya akan menciptakan peserta didik yang pasif (passive learner) dan peserta didik yang tergantung (dependent learner).
b. Guru harus bersedia mengamalkan pesan agama yaitu belajar sepanjang hayat (life-long education). Dengan banyak belajar, baik mandiri, berdiskusi, mengikuti seminar/workshop/lokakarya akan membuka cakrawala dan paradigma berfikir guru. Sehingga keluasan pola pikir akan mengurangi tingkat resistensinya terhadap perubahan termasuk
perubahan kurikulum. Tidak jarang, kedangkalan pemahaman membuat kita begitu cepat untuk menolak suatu perubahan. Bukankah filsuf pernah berpesan bahwa sesuatu yang kita pikirkan haruslah dimulai dengan memahami dan mencintai.
c. Guru harus melakukan investasi pendidikan melalui pembelian buku, meningkatkan level pendidikan, comparative study dan sebagainya. Intinya, guru harus memahami bahwa profesi guru membutuhkan “on going education and training profession”. Guru merasa butuh untuk belajar dan berlatih bagi pengembangan profesinya agar dia dapat melaksanakan tugasnya sebagai guru lebih baik dari sebelumnya. Pengembangan diri guru tidak hanya sebatas pada keahlian teknis edukatif (in-class practice) saja tetapi juga mencakup penguasaan guru terhadap pengetahuan dasar (knowledge base) yang menjadi fondasi profesi guru.
d. Guru harus melek teknologi. Faktanya saat ini, guru Indonesia tidak hanya lemah dalam hal kompetensi utamanya namun juga lemah dalam penguasaan teknologi. Tentunya hal ini akan berimbas pada penggunaan media pembelajaran. Untuk itu, guru harus berupaya“in touch” dengan perkembangan teknologi yang mendukung pembelajaran (tools for learning). Penggunaan media dan metode yang tepat dalam pembelajaran akan membantu terciptanya pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan yang bertahan lama pada peserta didik (enduring understanding). Guru geografi juga dituntut untuk menguasai Teknologi sebagai alat analisis geografi seperti Peta dan Sistem Informasi Geografi.
e. Guru harus berkolaborasi dan hindari keterasingan professional. Kolaborasi dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi praktik pembelajaran pada prinsipnya akan mendukung terwujudnya perbaikan sekolah yang berkelanjutan (continuos school improvement). Kolaborasi akan menghasilkan buah karya yang lebih berharga dari pada karya individual warga sekolah dan perubahan yang serius hanya akan muncul dari usaha kolektif yang mendorong, mengobservasi, merancang, mengimplementasikan dan memonitor perubahan (Sorenson, 2011) dalam Ansyar (2014).
Ibarat sebuah sinetron, skenario bisa saja berubah di tengah jalan, mungkin karena permintaan
pasar atau hal-hal teknis lainnya. Demikian juga kurikulum. Masalah dalam dunia pendidikan tidak akan pernah berhenti selagi roda pendidikan itu bergulir. Akankah kita terus mengutuki permasalahan tersebut?. Apakah kita akan menjadi orang-orang yang akan sibuk berbicara, berkomentar, saling menyalahkan?. Bukankah terlalu banyak berbicara membuat kita tumpul dalam berfikir dan berbuat?. Guru yang bijak tentunya akan terus berusaha menyajikan pembelajaran terhebat di kelasnya (effective classroom) karena guru tersebut yakin apa yang diperbuatnya di kelas akan mempengaruhi masa depan anak didiknya. Guru yang bijak dengan bekal ilmu dan pengalamannya selama ini, lebih tahu mana yang terbaik untuk anak didiknya. Guru yang bijak adalah sutradara terhebat dalam mengarahkan anak-anak didiknya untuk mengambil dan memainkan peran dalam pembelajaran. Terakhir, Pepatah bijak mengatakan “stop cursing the darkness, let‟s light more and more candles” yang intinya adalah lebih baik berbuat sesuatu yang bisa meningkatkan kualitas guru daripada berdebat dan saling menyalahkan (Nofrion & Suasti, 2015).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun