Mohon tunggu...
Ryan Ari Rap
Ryan Ari Rap Mohon Tunggu... Penulis - Petani dan Penikmat Kopi, dari Desa untuk Indonesia

Baca. Baca. Baca. Menulis. Menulis. Menulis. Seorang pemuda dari desa nun jauh di kaki perbukitan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, berkecimpung di bidang pemeberdayaan masyarakat dan dunia digital marketing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tapi Apakah Aku Harus Demikian?

9 Oktober 2017   16:53 Diperbarui: 9 Oktober 2017   16:59 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu itu, ketika aku lahir aku tak tahu adakah perayaan. Lalu menumpuk label sebagai tanda kehidupan. Masuk pada barisan dengan rambu-rambu yang saling berhadapan. Ke mana arah yang sejatinya harus aku jadikan pilihan. Tidak bisa mengulang, tidak boleh segera pulang.

Di sekolah yang berkali berganti seragam itu aku mulai dikenalkan dengan kebaikan. Sebagai bekal perjalanan kelak agar selamat dalam kehidupan. Tak sedikit aku harus mengunyah pasrah dan berkata benar adanya soal segala yang diajarkan. Menjanji surga, menjanji neraka, menjanji segala keberlangsungan setelah ketiadaan.

Apakah aku ini dicekoki kertas-kertas kebenaran yang tak benar dalam kenyataan. Atau aku ini sedang diperkosa kenyataan yang tak benar dalam lembar tulisan.

Soal poligami misalnya. Apa yang sempat aku dengar dan baca. Pada seminggu sekali di ruang kelas aku kagum dibuatnya. Pada selepas asar di masjid aku selalu terpana.

Tapi apa yang dalam nyata, jauh dari yang aku dengar dan baca. Tiada soal janda, tua dan memerdekakan kehidupannya. Kalaupun ada mungkin aku tak sempat mendengarnya. Terlalu sedikit atau tak laku menjadi berita. Yang aku saksikan semua soal yang menjadi panutan agama, mapan juga kaya, memperistri perawan cantik rupanya, lebih pula dari dua, ada yang tiga, lalu ramai menjadi berita.

Jika demikian adanya, aku kira aku pun bisa, mau menjalankan perintah atas nama agama. Bukankah begitu mulia, muda, menjadi kaya, panutan agama, benar di mata sesama, bergelimang harta, sunah rosul pula. Tapi soal yang demikian itu tiada semudah menuliskannya. Satu saja aku tiada, apa lagi dua sampai tiga.

Tapi apakah aku harus demikian? Bagaimana ketika aku menyisihkan saja gajiku yang tak seberapa. Menyenangkan anak tetangga yang sobek sepatunya. Atau membelikan sekilo dua kilo beras untuk janda tua yang tiada lagi sanak saudara.
Bukankah itu juga diajarkan dalam kelas juga sejak aku mulai bisa bicara. Ah tapi itu tiada menarik orang untuk membuatku masuk berita. Pamorku tiada. Aku harus menjadi kaya, lalu menjalankan sunah rosul memperistri dua atau tiga wanita yang muda dan cantik sebagai syarat utama. Soal janda kelaparan dan anak tetangga yang robek sepatunya, biarkan saja.

Oktober 2017
Mudjirapontur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun