Angga membantu Tiara naik dan mengambil alih ransel yang dibawanya. Seisi bis yang kebanyakan kaum hawa itu sontak hening saat melihat Tiara berada di dalam bis.
"Cieee ...," sorak usil teman-teman Angga.
"Angga bawa cewek, oooy," celetuk Dewa ketua rombongan.
"Tenang ... tenang." elak Angga dengan muka merona yang disambut riuh teman-temannya.
"Awas, Mbak, jangan percaya sama play boy kacangan," olok seorang laki-laki dengan tindik di telinga.
"Jangan dengarkan mereka!" Dewa melerai, "biasa anak teknik kalo ngeliat cewek pada ijo matanya, maklum nggak ada cewek di kelas kami."
"Woy, apaan, loe pikir gue bukan cewek." Sebuah suara terlontar dari arah belakang dengan tangan mengacung.
"Sudah ... sudah, jangan pada rebut! Tiara ini dari fakultas hukum, dia ketinggalan rombongan. Jadi boleh, dong, ikut bis kita?" papar Angga menjelaskan.
"Boleh, sih, tapi bangku yang kosong cuma sebelah Angga," ujar Dewa meminta persetujuan Tiara.
Perempuan bermata bulat itu tersenyum tipis. Mau bagaimana lagi ... pulang sendiri juga tidak punya ongkos. Tiara merutuki kecerobohannya yang tidak bisa menahan diri saat melihat barang-barang bagus di Malioboro kemarin. Dengan terpaksa Tiara mengangguk, saat ini dia cuma ingin segera tiba di rumah.
"Tiara, loe bisa duduk sama gue, tukeran sama Edo. Biar Edo duduk sama Angga." Sebuah suara perempuan membuat Tiara bernapas lega, tanpa pikir panjang dia segera mendatangi arah suara. Seorang  perempuan berambut pendek seperti laki-laki melambaikan tangan ke arahnya.
"Ya, betul, lupa kalo ada Dea. Kamu bisa duduk sama Dea," ujar Dewa.