"Oow, iya ... iya, monggo. Tapi rumah saya kecil dan jelek," ujar laki-laki itu merendah, Tiar tertawa lagi.
Sepanjang perjalanan yang hanya memakan waktu lima belas menit, laki-laki yang nampak sabar itu bercerita bahwa ia  harus bangun setiap jam 3 pagi untuk menyiapkan dagangan, mengecek persediaan barang yang habis, lalu berangkat ke pasar untuk melengkapi barang dagangan. Kemudian pulang menyiapkan makanan untuk anak perempuan satu-satunya. Barulah berangkat untuk berdagang dan pulang menjelang magrib. Setelah itu dilanjutkan dengan memberikan les tambahan di rumah
Tak hentinya laki-laki tua itu mengucapkan terima kasih, ketika kami tiba di depan sebuah rumah dengan bangunan sederhana, meski catnya sudah memudar, tapi masih tampak asri dengan ornamen minimalis yang cantik.
Seorang perempuan berumur sekitar delapan belas tahun duduk di dipan kayu, dari wajah pucatnya ia berusaha memberikan senyum manis untuk ayahnya yang baru saja datang. Laki-laki itu mengelus rambut anaknya yang dipotong pendek seperti rambut laki-laki.
"Namanya Binar, Â satu-satunya anak saya." Laki-laki yang mengenalkan diri bernama Joko itu menjelaskan.
"Binar menderita Leukemia, banyak pengobatan yang sudah dijalani, termasuk transplantasi sumsum tulang belakang, kemoterapi, dan lain sebagainya, tapi ndak semuanya bisa membantu, karena penyakitnya sangat sulit untuk disembuhkan. Juga karena kondisi ekonomi akhirnya Binar terpaksa harus dirawat seadanya." Laki-laki itu mengembuskan nafas berat. "Namun, bapak ndak mau menyerah, bapak akan berjuang untuk kesembuhannya, meski harus bekerja siang dan malam."
Tiar merasa hatinya teriris pilu mendengar cerita laki-laki penjual minuman yang tak sedikit pun menampakkan gurat kelelahan. Sambil memandang putri tercintanya, Pak Joko melanjutkan cerita.
"Sebenarnya saya pernah menyerah, apalagi ketika ibunya Binar meninggal setahun yang lalu, Â Binar juga seperti sudah kehilangan harapan hidup. Tapi guru dan teman-temannya selalu memberi motivasi, mendorong untuk tidak menyerah, karena Binar anak yang cerdas. Alhamdulillah tahun ini ia lulus dengan nilai memuaskan. Bahkan Binar terpilih sebagai penerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN."
Â
"Alhamdulillah." Perempuan bermata bulat itu ternganga, matanya menatap tak berkedip, bibirnya bergetar, hatinya berdesir dipenuhi rasa haru dan takjub sekaligus. Gadis bernama Binar itu juga tengah menatapnya ramah, sorotnya bersahabat. Tiar menghambur ke arah perempuan bertubuh kurus itu, meraih tangannya dan mencium, buliran bening tak sanggup ditahannya.
"Masya Allah, kamu hebat, Sayang," ujar Tiar bergetar, tangannya terjulur pada wajah gadis cantik bermata indah itu, jemarinya menelusuri setiap lekuk wajah pucat Binar.
"Bahkan guru-gurunya sering mengirimkan motivasi-motivasi daring tentang perjuangan penderita kanker yang berhasil sembuh, memberi semangat dan harapan untuk terus berjuang. Karena sejatinya umur adalah hak yang kuasa, tapi pantang bagi kita untuk menyerah. Hingga membuat Binar kembali semangat, menjalani pendidikan meski dalam kondisi kritis, bahkan 3 bulan yang lalu, Binar berhasil mengkhatamkan hafalan Al Qurannya 30 juz dan menerima penghargaan dari sekolah sebagai Hafidzah terbaik."
"Masya Allah, tabarakallah." Tiar menyebut asma Allah dengan bibir bergetar takjub.