Panas terik begitu menyengat, terasa  membakar tepat di ubun-ubun. Tiar menyapukan pandangan ke sekeliling, mencari kemungkinan penjual minuman sekedar membasahi kerongkongannya yang kering. Matanya tertuju pada sebuah gerobak kecil dengan beberapa botol air mineral kemasan berbaris rapi di atasnya. Perempuan berkulit kuning langsat itu tersenyum lega, segera membelokkan motornya menuju gerobak bercat hijau lumut itu.Seorang laki-laki menyambut dengan santun sambil menanyakan mau membeli apa. Tiar mengambil sebotol teh dalam kemasan sambil memperhatikan laki-laki ramah dihadapannya. Perempuan bertubuh mungil itu mengerutkan alis, hatinya berdesir, laki-laki setengah tua itu hanya memiliki satu kaki dengan tongkat sebagai penyangga, rambutnya sudah mulai memutih, tapi senyum tak pernah hilang dari wajahnya yang mulai keriput dimakan usia.
Tiar duduk di bangku plastik yang disediakan sambil menikmati  minuman dalam botol  dan roti isi coklat seharga dua ribu rupiah, makanan sederhana yang  selalu menjadi penyelamat saat kelelahan dalam perjalanan.
"Mau kemana, Mbak?" tanya laki-laki tua itu membuka pembicaraan.
"Eh, ini pak ... mau pulang," jawab Tiar, matanya masih lekat pada wajah laki-laki yang selalu tersenyum itu.
"Bapak udah lama jual minuman gini?" Â
Laki-laki penjual minuman itu tersenyum, lalu mengambil tempat duduk di sebelah perempuan berjilbab pink, tampak repot dengan tongkat penyangganya.
"Saya jualan sudah hampir sepuluh tahun, Mbak. Sejak saya kecelakaan dan keluar dari kedinasan."
"Bapak tentara?"
"Yah, dulunya saya dinas di Angkatan Darat, sebagai pelatih tembak di Pusat Pelatihan Militer." Mata tua yang teduh itu menerawang, ada kabut tipis menyelimuti.
"Di Akmil sini, Pak?" Tiar mengerutkan alis.
"Iya, di Akmil Tidar sini," jawab laki-laki itu sambil melipat kardus-kardus bekas minuman kemasan.