Layar perlahan terbuka, menampilkan sosok laki-laki meliuk dengan gerakan patah-patah nan memukau di atas panggung, geraknya lincah, lepas, tanpa beban menuntaskan  alur cerita  yang dibawakan lewat pantomim.Â
Tepuk tangan dan riuh pujian pun  tersemat di akhir penampilannya.Mendadak aku jatuh cinta, meski aku tak tahu apa yang membuatnya menarik, tapi penampilan laki-laki berambut gondrong itu telah menyita seluruh penjuru pikirku.
Meski sebagian orang melontar cemooh pada penampilannya yang terkesan absurd, aneh, dan entahlah ... aku tak bisa menggambarkan, tapi yang pasti senyum di balik bibir tipisnya telah membuat jantungku tak mau patuh pada ritmenya saat berdekatan dengannya.
Namun, aku pernah beberapa kali memergoki, dibalik panggung setelah melepas atribut pentasnya, laki-laki beralis tebal itu menyepi sendiri.
Malam itu, pementasan berakhir gemilang. Sebuah teatrikal  Hamlet,  cerita klasik yang telah banyak pengulangan, tapi kali ini paduan drama, tari, dan pantomim yang dikemas dalam alun orkestra membuat kisah dua anak manusia itu memikat banyak mata. Denting nada cinta mengalun syahdu, menghanyutkan angan setiap insan yang  sedang dilanda asmara.
Setelah pagelaran usai, lagi-lagi dibalik panggung kutemukan dia tengah menyendiri. Â
"Hai," sapaku memberanikan diri. Laki-laki itu mendongak.
'Pementasanmu bagus, selamat, ya." Aku menebar ujar, Â "Boleh aku duduk?"
Laki-laki itu menggeser pantatnya, memberi tempat agar aku bisa duduk.
"Namaku Nada," ucapku mengulurkan tangan. Â "Kamu Pujangga, kan?" Â Laki-laki dengan mata bermanik hitam itu tersenyum tipis, bibirnya membentuk garis sejajar, membuatku berusaha keras menyembunyikan debar. Â