Mohon tunggu...
Mukhlish Rahman
Mukhlish Rahman Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Assosiate Research Lembaga Studi al-Qur'an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penafsiran Al-Qur'an Masa Modern dan Kontemporer

29 Oktober 2017   15:17 Diperbarui: 31 Oktober 2017   15:02 11116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini berusaha membahas mengenai perkembangan penafsiran bermula dari masa pertengahan sampai awal modern maupun kontemporer. Banyak sarjana muslim maupun para ulama mencoba menganalisis perubahan karakteristik tafsir yang berkembang dari masa ke masa. Sebagaimana ada ungkapan yang berbunyi "al-Qur'an sholihun li kulli zaman wa makan" ( al-Qur'an sesuai dengan waktu dan tempat) sehingga tak menuntupi kemungkinan terjadi perubahan-perubahan dalam rangka menyesuaikan latar belakang masyarakat yang berkembang pada masa tersebut. 

Tapi meskipun begitu, tidak sepenuhnya keseluruhan terdapat perbedaan secara signifikan dari pola dan pendekatan yang terdapat pada tafsir-tafsir terdahulu, ada kalanya penafsiran modern masih harus bertumpu pada tafsir klasik. Adapun rujukannya biasanya mengambil dari sumber-sumber klasik seperti karya Fakhrudin Al-Razi, Zamakhsyari dan Ibnu Katsir. 

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh penafsiran masa kontemporer kini lebih cenderung bersifat continuing artinya terus berkembang keilmuannya. Terbukti, kalau melihat tafsir-tafsir klasik pembahasannya seputar pendapat-pendapat ulama se-zamannya yang cenderung lebih ke ranah kritikan. Jadi, mereka saling mengkritik satu sama lain. 

Mengungkapkan argumen-argumennya sebagai pendukung teori-teori mereka. Berbeda, pada tafsir era kontemporer yang isinya semakin meluber ke mana-mana sehingga memunculkan warna-warni keilmuan. Pendekatan-pendekatan tafsir di era modern banyak dimulai di negara-negara Arab utamanya Mesir. Dahulunya wilayah Mesir adalah bekas jajahan dari Negara Barat (Ingris), maka bermula dari keterpurukan tersebut lahirlah semangat pembaharuan dari masyarakat Mesir untuk mengubah pola pikir mereka. 

Wujud perubahan konten penafsiran al-Qur'an di era modern ini lebih berfokus dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dari kalangan masyarakat entah itu dari bidang politik, sosial dan perubahan budaya umat Muslim yang telah mengalami akulturasi dengan peradaban Barat. 

Secara garis besarnya pembahasan tafsir modern dikelompokkan menjadi 2 pembahasan : 

1. Membahas kesesuaian pandangan al-Qur'an terhadap dunia, dengan penemuan-penemuan dari ilmu pengetahuan alam. 

2. Problem politik dan sosial berdasarkan pandangan al-Qur'an. Dalam wacana kontemporer tafsir sebagai produk diposisikan sama seperti produk pemikiran lainnya, bersifat relatif dan nisbi, tidak bersifat mutlak dan sakral atau harus disakralkan. 

Absolutisasi dan sakralisasi justru akan mengekang kebebasan untuk menemukan petunjuk kitab suci yang sesuai dan hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Lebih jauh dapat ditegaskan, bahwa tafsir sebagai produk pemikiran yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir yang sudah ada, kitab tafsir masa lalu boleh di keritisi dan diberi tafsir ulang sesuai dengan kebutuhan masa kini. 

Term dan istilah kontemporer biasanya terkait dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang pada saatnya, yaitu kondisi yang sedang berkembang pada saat ini. Secara konsepsional istilah kontemporer tidak berdiri sendiri. Kemunculannya sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang pernah muncul pada periode sebelumnya dan sekaligus sebagai respons dari situasi dan kondisi yang sedang dialami. Kemunculannya di satu sisi karena dipengaruhi oleh suasana ke modern an yang telah dan sedang dialami. Oleh karena itu, sulit untuk memisahkan antara modern dengan kontemporer. 

Apabila istilah kontemporer ini dikaitkan dengan tafsir, maka itu berarti bagaimana upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran diadaptasikan dan disesuaikan dengan suasana dan kondisi pada saat ini yang sedang dipengaruhi dan berada dalam suasana kehidupan modern. Istilah kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tradisi penafsiran pada saat ini. 

Dengan demikian, sebenarnya ia dibedakan dengan masa modern, namun karena sulit dipisahkan antara modern dan kontemporer, sebab banyak ide tafsir kontemporer yang terinspirasi oleh ide modern, maka kadang kala dua istilah itu disatukan menjadi modern kontemporer. Sebagai lawan dan titik tolak dari tafsir moden atau tafsir kontemporer adalah tafsir klasik, yaitu tafsir yang masih terikat dengan pesan-pesan normatif dan mengikuti produk-produk tafsir yang sudah ada. Secara umum, model penafsiran klasik bisa diklasifikasikan dalam dua hal: 

Pertama, tafsir tektualis. Tafsir ini menjadikan teks segala-galanya. Apa yang disampaikan teks adalah titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Bagi kalangan ini, ada keyakinan teologis,bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan sudah disampaikan secara komprehensif dalam teks, sehingga konsekuensinya, pemahaman keagamaan dan keduniaan harus merujuk sepenuhnya kepada teks. 

Kedua, tafsir ideologis. Biasanya tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang menjadi pilihan kekuasaan. Kalangan sunni akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu pula kalangan Syiah mempunyai tafsir.

Dalam konteks metodologi tafsir, yaitu metodologi tafsir kontemporer berarti sama dengan metodologi tafsir modern. Keberadaannya merupakan bentuk lain dari metodologi tafsir klasik. Selanjutnya, bila dilakukan perbandingan, pemahaman metodologi tafsir kontemporer secara sekilas tidak ada bedanya dengan yang klasik, ia juga ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci dengan kondisi di mana mufassir hidup. Dalam konteks kontemporer, dampak ilmu pengetahuan barangkali merupakan faktor utama yang menciptakan tuntutan baru selain elemen-elemen yang mengitari kehidupan kontemporer di mana kebanyakan tafsir modern awal meresponnya. 

Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa (sebagian besar) umat islam tidak memahami al-Quran yang sesungguhnya, karenanya kehilangan sentuhan dengan inti pengetahuan,semangat rasional dari teks. Namun demikian, terdapat karakteristik yang menonjol yang membedakan dari pemahaman metodologi tafsir terdahulu adalah : 

Pertama, metodologi tafsir kontemporer menjadikan al-Quran sebagai kitab petunjuk, atau meminjam istilah Amin al-Khuli (w. 1966 M.) al-ihtida' bi al-Quran. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Syeikh Muhammad Abduh yang ingin mengembalikan fungsi Alquran sebagai kitab petunjuk. 

Kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada di balik teks al-Quran. Dengan kata lain, metodologi tafsir kontemporer tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Quran secara literal, tetapi mencoba melihat lebih jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan-ungkapan literal tersebut. Dengan demikian, apa yang ingin dicapai adalah "ruh" atau pesan moral al-Quran. 

Produk kajian tafsir kontemporer sesungguhnya bukanlah produk tafsir yang tanpa kritik dan respon, termasuk pendekatan dan metodologi yang dikembangkan dalam tradisi tafsir tersebut. Dalam perjalanannya tafsir modern-kontemporer seringkali memunculkan kontroversi. Baik dari dalam diri umat Islam sendiri maupun dari luar. Kritikan langsung dan tidak langsung seringkali muncul untuk mengkritisinya dan bahkan memberi penilaian yang relatif ekstrim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun