Dengan demikian, sebenarnya ia dibedakan dengan masa modern, namun karena sulit dipisahkan antara modern dan kontemporer, sebab banyak ide tafsir kontemporer yang terinspirasi oleh ide modern, maka kadang kala dua istilah itu disatukan menjadi modern kontemporer. Sebagai lawan dan titik tolak dari tafsir moden atau tafsir kontemporer adalah tafsir klasik, yaitu tafsir yang masih terikat dengan pesan-pesan normatif dan mengikuti produk-produk tafsir yang sudah ada. Secara umum, model penafsiran klasik bisa diklasifikasikan dalam dua hal:Â
Pertama, tafsir tektualis. Tafsir ini menjadikan teks segala-galanya. Apa yang disampaikan teks adalah titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Bagi kalangan ini, ada keyakinan teologis,bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan sudah disampaikan secara komprehensif dalam teks, sehingga konsekuensinya, pemahaman keagamaan dan keduniaan harus merujuk sepenuhnya kepada teks.Â
Kedua, tafsir ideologis. Biasanya tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang menjadi pilihan kekuasaan. Kalangan sunni akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu pula kalangan Syiah mempunyai tafsir.
Dalam konteks metodologi tafsir, yaitu metodologi tafsir kontemporer berarti sama dengan metodologi tafsir modern. Keberadaannya merupakan bentuk lain dari metodologi tafsir klasik. Selanjutnya, bila dilakukan perbandingan, pemahaman metodologi tafsir kontemporer secara sekilas tidak ada bedanya dengan yang klasik, ia juga ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci dengan kondisi di mana mufassir hidup. Dalam konteks kontemporer, dampak ilmu pengetahuan barangkali merupakan faktor utama yang menciptakan tuntutan baru selain elemen-elemen yang mengitari kehidupan kontemporer di mana kebanyakan tafsir modern awal meresponnya.Â
Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa (sebagian besar) umat islam tidak memahami al-Quran yang sesungguhnya, karenanya kehilangan sentuhan dengan inti pengetahuan,semangat rasional dari teks. Namun demikian, terdapat karakteristik yang menonjol yang membedakan dari pemahaman metodologi tafsir terdahulu adalah :Â
Pertama, metodologi tafsir kontemporer menjadikan al-Quran sebagai kitab petunjuk, atau meminjam istilah Amin al-Khuli (w. 1966 M.) al-ihtida' bi al-Quran. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Syeikh Muhammad Abduh yang ingin mengembalikan fungsi Alquran sebagai kitab petunjuk.Â
Kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada di balik teks al-Quran. Dengan kata lain, metodologi tafsir kontemporer tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Quran secara literal, tetapi mencoba melihat lebih jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan-ungkapan literal tersebut. Dengan demikian, apa yang ingin dicapai adalah "ruh" atau pesan moral al-Quran.Â
Produk kajian tafsir kontemporer sesungguhnya bukanlah produk tafsir yang tanpa kritik dan respon, termasuk pendekatan dan metodologi yang dikembangkan dalam tradisi tafsir tersebut. Dalam perjalanannya tafsir modern-kontemporer seringkali memunculkan kontroversi. Baik dari dalam diri umat Islam sendiri maupun dari luar. Kritikan langsung dan tidak langsung seringkali muncul untuk mengkritisinya dan bahkan memberi penilaian yang relatif ekstrim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H