Tulisan ini berusaha membahas mengenai perkembangan penafsiran bermula dari masa pertengahan sampai awal modern maupun kontemporer. Banyak sarjana muslim maupun para ulama mencoba menganalisis perubahan karakteristik tafsir yang berkembang dari masa ke masa. Sebagaimana ada ungkapan yang berbunyi "al-Qur'an sholihun li kulli zaman wa makan" ( al-Qur'an sesuai dengan waktu dan tempat) sehingga tak menuntupi kemungkinan terjadi perubahan-perubahan dalam rangka menyesuaikan latar belakang masyarakat yang berkembang pada masa tersebut.Â
Tapi meskipun begitu, tidak sepenuhnya keseluruhan terdapat perbedaan secara signifikan dari pola dan pendekatan yang terdapat pada tafsir-tafsir terdahulu, ada kalanya penafsiran modern masih harus bertumpu pada tafsir klasik. Adapun rujukannya biasanya mengambil dari sumber-sumber klasik seperti karya Fakhrudin Al-Razi, Zamakhsyari dan Ibnu Katsir.Â
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh penafsiran masa kontemporer kini lebih cenderung bersifat continuing artinya terus berkembang keilmuannya. Terbukti, kalau melihat tafsir-tafsir klasik pembahasannya seputar pendapat-pendapat ulama se-zamannya yang cenderung lebih ke ranah kritikan. Jadi, mereka saling mengkritik satu sama lain.Â
Mengungkapkan argumen-argumennya sebagai pendukung teori-teori mereka. Berbeda, pada tafsir era kontemporer yang isinya semakin meluber ke mana-mana sehingga memunculkan warna-warni keilmuan. Pendekatan-pendekatan tafsir di era modern banyak dimulai di negara-negara Arab utamanya Mesir. Dahulunya wilayah Mesir adalah bekas jajahan dari Negara Barat (Ingris), maka bermula dari keterpurukan tersebut lahirlah semangat pembaharuan dari masyarakat Mesir untuk mengubah pola pikir mereka.Â
Wujud perubahan konten penafsiran al-Qur'an di era modern ini lebih berfokus dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dari kalangan masyarakat entah itu dari bidang politik, sosial dan perubahan budaya umat Muslim yang telah mengalami akulturasi dengan peradaban Barat.Â
Secara garis besarnya pembahasan tafsir modern dikelompokkan menjadi 2 pembahasan :Â
1. Membahas kesesuaian pandangan al-Qur'an terhadap dunia, dengan penemuan-penemuan dari ilmu pengetahuan alam.Â
2. Problem politik dan sosial berdasarkan pandangan al-Qur'an. Dalam wacana kontemporer tafsir sebagai produk diposisikan sama seperti produk pemikiran lainnya, bersifat relatif dan nisbi, tidak bersifat mutlak dan sakral atau harus disakralkan.Â
Absolutisasi dan sakralisasi justru akan mengekang kebebasan untuk menemukan petunjuk kitab suci yang sesuai dan hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Lebih jauh dapat ditegaskan, bahwa tafsir sebagai produk pemikiran yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir yang sudah ada, kitab tafsir masa lalu boleh di keritisi dan diberi tafsir ulang sesuai dengan kebutuhan masa kini.Â
Term dan istilah kontemporer biasanya terkait dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang pada saatnya, yaitu kondisi yang sedang berkembang pada saat ini. Secara konsepsional istilah kontemporer tidak berdiri sendiri. Kemunculannya sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang pernah muncul pada periode sebelumnya dan sekaligus sebagai respons dari situasi dan kondisi yang sedang dialami. Kemunculannya di satu sisi karena dipengaruhi oleh suasana ke modern an yang telah dan sedang dialami. Oleh karena itu, sulit untuk memisahkan antara modern dengan kontemporer.Â
Apabila istilah kontemporer ini dikaitkan dengan tafsir, maka itu berarti bagaimana upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran diadaptasikan dan disesuaikan dengan suasana dan kondisi pada saat ini yang sedang dipengaruhi dan berada dalam suasana kehidupan modern. Istilah kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tradisi penafsiran pada saat ini.Â