Mohon tunggu...
Muhsin Abdul Gani
Muhsin Abdul Gani Mohon Tunggu... Dosen -

Seorang dokter dan doktor alumni Jerman, yang peduli dengan isu-isu sosial di sekitarnya. blog: http://doktermuhsin.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sahabat

4 Maret 2012   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:31 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"A friend is one who walks in when others walk out"
-Walter Winchell

Di suatu sore yang indah menuju akhir pekan disebuah minggu yang padat, seorang teman dari Afrika bertanya kepada saya tentang rencana akhir pekan. Sudah menjadi lumrah di negara ini bahwa planning akhir pekan adalah program yang harus kita bagi kepada orang lain. Setiap penghujung atau awal minggu, para kolega pasti akan menanyakan hal itu. Bahkan ketika belajar bahasa Jerman dulu, kami diwajibkan untuk menceritakan program akhir pekan di setiap hari Senin. Begitu pentingnya ‘was machst du am Wocheende’ (Apa yang kamu lakukan di akhir pekan?) ini pada masyarakat Jerman, sehingga akhir pekan tanpa rencana atau kegiatan ibarat sayur tanpa garam, tawar. So, bagi saya, menghiasi akhir pekan dengan kegiatan yang menghibur adalah sesuatu yang harus, minimal untuk bisa saya ceritakan ketika teman-teman yang menanyakannya.

Kembali kepada pertanyaan kawan saya tadi. Untungnya pada sabtu esoknya saya memiliki rencana untuk berkumpul dengan teman-teman mahasiswa asal Aceh untuk menikmati sepiring Mie Aceh di asrama saya. “We will have a gathering party”, kata saya. “Not so big, but approximately ten of my friends will come”, tambah saya. “Ya, bagus”, katanya. “Minimal kamu punya sahabat yang bisa kamu ajak bertemu, makan, jalan-jalan”, katanya seperti menyiratkan kesedihan. “Loh, bukannya di kota ini kamu juga punya teman dari negara kamu yang bisa kamu ajak berkumpul?“, tanya saya. “Hmm, setahu saya yang dari negara saya tidak ada, tapi saya dengar ada beberapa orang Afrika dari negara tetangga ada yang tinggal disini. Saya akan mencari tahu“, katanya sambil tersenyum, getir.

Saya baru sadar, bahwa saya beruntung memiliki banyak sahabat satu negara dan satu daerah yang bisa saya ajak ‘practice‘ bahasa nasional atau bahasa daerah disini, walau saya juga memiliki kawan untuk berbicara bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Saya hampir setiap minggu memiliki berbagai acara bersama mereka, minimal dua minggu sekali dalam acara pengajian bersama dan sebulan sekali acara pengajian rutin bulanan. Setiap Jumat kami bertemu di depan mesjid hanya untuk saling bertanya kabar. Bahkan saya hampir setiap hari bisa berbicara bahasa Indonesia dengan seorang kawan yang memang satu institusi dengan saya dan tinggal tepat di depan kamar saya, Alhamdulillah.

Saya jadi ingat ketika saya dulu pertama datang ke negara ini. Seorang kawan yang telah lebih dulu belajar di sini secara kebetulan satu pesawat dengan kami. Kebetulan yang disengaja sih sebenarnya. Beruntung bagi kami, dikenalkan dengan negara ini menggunakan bahasa ibu, walau culture shock masih saja terjadi. Saya kemudian berpikir bagaimana kalau kami tidak memiliki sahabat? Bagaimana kalau saya berpergian sendiri, tanpa ditemani sahabat dan tiada satu pun orang sahabat yang saya bisa tanya, tentu culture shock yang saya rasakan pasti akan lebih berat.

Seorang teman juga membantu saya pindah ke kota ini setelah dua bulan melewati kursus bahasa di kota sebelumnya. Dia inilah satu-satunya orang Indonesia yang tinggal disini yang saya kenal waktu itu. Dari teman inilah, saya diperkenalkan dengan teman-teman dari Indonesia lainnya. Satu dua saya mulai akrab dan menjadi bagian dari sebuah komunitas muslim asal Indonesia di sini. Hingga akhirnya istri saya datang dan anak saya lahir. Kami ibarat sebuah komunitas sosial yang lengkap, sebuah gambaran masyarakat ideal yang saya cita-citakan. Merekalah yang membantu saya melewati hari-hari penuh cobaan di kota baru ini. Membantu saya dalam susah maupun senang. Bagi kita yang berada jauh dari keluarga, sahabat adalah pengganti mereka. Hidup tanpa sahabat ibarat hidup tanpa keluarga, sepi, senyap.

“Kamu akan menemukan kawan-kawanmu“, saya kemudian menghiburnya. “Kalaupun tidak, kamu masih memiliki saya dan kawan-kawan di sini yang siap membantu kamu kapan saja. Dan kamu sekarang sudah punya keluarga, sebagai teman yang setia menemanimu melewati hari-hari berat disini“, saya menambahkan sambil mengemasi barang-barang di meja dan kemudian berpamitan pulang padanya.

A Friend is a Treasure. A friend is someone we turn to,
when our spirits need a lift.
A friend is someone we treasure,
for our friendship is a gift.
A friend is someone who fills our lives,
with beauty, joy and grace.
And make the world we live in,
a better and happier place.

(www.theholidayspot.com)

Bonn – Jerman, 04.03.2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun