Kemarin, Rabu (31/8) pada beberapa media online, sangat bahagia sekali ketika saya membaca berita tentang 150 orang eks karyawan PT. Transjakarta mengadukan Manajemen PT. Transjakarta ke Komnas Ham dengan di dampingi penasihat hukum dari LBH Jakarta. Menurut saya ini adalah ledakan keluhan selama ini yang mewakili seluruh karyawan yang bekerja di PT. Transjakarta.
Seperti diketahui PT. Transjakarta adalah sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang mulai beroperasi sejak 1 Februari 2004, sebelum resmi menjadi sebuah BUMD pada 2015 bernama PT. Transportasi Jakarta (Transjakarta), Transjakarta berupa BP (Badan Pengelola) Transjakarta Busway pada 2004 berdasarkan keputusan Gubernur No 110/2003 yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur, lalu berdasarkan Pergub DKI No. 48 Tahun 2006 pada 04 Mei 2006, BP Transjakarta berganti menjadi Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta yang adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta. Perusahaan transportasi publik di Jakarta ini seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Sangat ironis memang ketika sebuah perusahaan yang berdiri selama ini di bawah naungan Pemerintah Daerah seperti PT. Transjakarta justru banyak melanggar Undang-undang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan hak-hak karyawan yang tidak diberikan oleh perusahaan, seperti berikut:
Kontrak kerja. Banyak dari karyawan setiap tahun selalu diperpanjang kontraknya bahkan sampai 10-11 tahun lebih tanpa jeda waktu sesuai yang diatur UU Ketenagakerjaan dan tidak diangkat menjadi karyawan tetap, untuk menyiasati ini PT. Transjakarta mengakalinya dengan seluruh karyawan harus mengumpulkan surat lamaran, CV maupun foto terbaru setiap perpanjangan kontrak, sehingga dibuat sebuah alibi seakan-akan karyawan tersebut sudah pernah habis kontrak dan melamar kembali seperti karyawan baru.
Karyawan perempuan yang cuti hamil hanya dikasih waktu 40 hari.
Gaji karyawan masih dibawah UMP, karyawan tidak pernah menerima slip gaji. Karyawan harus meminta slip terlebih dahulu ke bagian keuangan yang prosesnya selalu dipersulit. Gaji pokok karyawan hanya sekitar Rp 2,4 juta. Tetapi, di rekening koran BPJS tertera gaji karyawan sebesar Rp 3,1 juta yang batas UMP.
Hal lainnya yang patut digarisbawahi mengenai gaji adalah gaji pengemudi yang sering di bahas di media massa atau disampaikan Ahok sebesar 3,5 UMP, padahal kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Pengemudi hanya menerima gaji berdasarkan hitungan gaji pokok, uang makan dan ditambah pendapatan kilometer tempuh bus yang nilainya jauh dari 2x UMP, hal itupun jika belum dipotong dengan berbagai Tunggakan Ganti Rugi lainnya. Â
Jam kerja yang melebihi batas telah ditentukan dan tidak mendapatkan upah lembur. Seperti pengemudi yang masuk kerja shift siang dari pukul 11.00 sampai pukul 22.00 tanpa jeda istirahat, hal tersebut jelas melanggar UU Ketenagakerjaan dan standar keselamatan lalu lintas.
Seragam kerja yang harus dibeli menggunakan uang pribadi. Harga seragam yang harus dibeli mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 500.000. Hal tersebut dianggap tidak perlu karena seharusnya seragam memang disediakan oleh pihak perusahaan bagi pekerjanya.
Pemotongan gaji kepada para pengemudi secara tidak rasional. PT. Transjakarta juga menerapkan sanksi pemotongan gaji antara Rp. 1 juta - 4 juta kepada setiap Pengemudi (Driver) yang dianggap melakukan pelanggaran, bahkan pelanggaran yang diada-ada sepihak seperti tidak menjaga jarak antar bus, seharusnya jika memang pengemudi tersebut dianggap melanggar peraturan, lebih baik diberikan skorsing tidak mengoperasikan kendaraan daripada hak-hak pendapatan kerja kerasnya selama berminggu-minggu dikurangi sepihak. Tidak dapat dibayangkan jika uang sebesar itu begitu berartinya buat menghidupi keluarga mereka
Berdasarkan di media online juga saya pun membaca beberapa komentar yang mengatakan kenapa kasus ini baru dibongkar? Ataukah kasus ini disinyalir bagian kecil untuk isu yang berkaitan tentang Pilkada DKI untuk mencari kesalahan Ahok, dan kenapa selama 10 tahun eks karyawan tersebut bekerja setelah diputus kontrak baru melaporkan saat ini ke Komnas HAM?
Untuk diketahui bahwa permasalahan ini murni dilaporkan ke Komnas HAM bukan untuk menjadi bagian dari bola panas politik yang saat ini terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta, justru saya sangat yakin bahwa Ahok sendiri selama ini tidak pernah tahu bagaimana bobroknya manajemen yang dijalankan di tubuh internal PT. Transjakarta dengan segala pelanggaran-pelanggaran terhadap pekerjanya.
Point kedua adalah alasan kenapa karyawan baru berani melaporkan setelah mereka tidak bekerja lagi di PT. Transjakarta, karena lebih di dasari pada faktor ketakutan mereka jika mengeluarkan suara pada saat masih bekerja, maka mereka terancam dipecat.
Saya melihat dengan mata terbuka sendiri kesewenang-wenangan Manajemen PT. Transjakarta itu terjadi begitu jelas, seperti PT. Transjakarta membuat sebuah kelompok kerja bernama Tim Khusus (Timsus). Anggota kelompok kerja ini, dapat ditandai dengan ciri khusus berseragam biru layaknya Brimob Polri, kerja tim kerja ini adalah untuk menegakkan disiplin pada karyawan PT. Transjakarta, tapi kenyataannya Tim ini lebih banyak menggunakan penyalahgunaan wewenang (perpanjang tanganan sikap otoriter Manajemen terhadap pekerjanya).
Satu contoh ada salah satu petugas di bus (on board) pernah kedapatan kakinya hanya melangkah 1 kaki di bus, dan 1 kaki lainnya di halte, dan perihal itu tidak pernah diatur dengan jelas di dalam Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan bahwa kedua kaki on board harus ada di halte saat menaik-turunkan penumpang, lalu kemudian Petugas On Board tersebut tanpa Surat Peringatan lantas diberikan surat pemecatan    Â
Dari adanya keseluruhan pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas, maka sudah seharusnya Dinas Tenaga Kerja maupun Inspektorat Jenderal Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan BPK DKI Jakarta melakukan audit keuangan secara menyeluruh terhadap PT. Transjakarta.
Seperti slogan PT. Transjakarta #BERANIBERUBAH. Saya berharap, kasus ini dapat diselesaikan dengan adanya perubahan secara menyeluruh terhadap Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance) yang lebih baik khususnya di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia di PT. Transportasi Jakarta (Transjakarta) dengan menganut azas Transparency, Accountability, Responbility, Independency, and Fairness. Tentunya, semua hal tersebut dapat diwujudkan dengan dukungan dari seluruh aspek yang ada, baik dari Internal Perusahaan PT. Transjakarta maupun Eksternal Perusahaan seperti Disnaker, Komnas Ham, LBH Jakarta, Media Massa, dan Masyarakat luas.
Jakarta, 01 September 2016
Salam sejahtera,
---
Much. Zainal Abidin, ST, MM
Pengemudi Transjakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H