Karena dalam era tersebut pemahaman "seni untuk seni" sudah pencong dan ditenggarai menjadi "seni untuk panglima", maka dapat dimaklumi Hardi sebagai salah seorang aktivis Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia yang disekap dan diinterogasi selama dua hari dua malam di Kantor Laksusda Jaya, Jl. Perwira Jakarta Pusat benar-benar mengalami "luka" yang lama. Pengalaman pribadinya selaku pelukis tersebut dikisahkan Hardi dalam FB. (lihat : Face Book KP Hardi Danuwijoyo 27-3-2019).
Nah, di atas tadi saya sudah beberkan beberapa ketentuan dan perundang-undangan yang demikian jelas rambu-rambunya dalam bekesenian di negeri ini. Namun, jika ada badan, instansi atau fungsi yang secara tidak sadar melanggarnya, tentu membuat khalayak ramai heran. Ada apa dengan kita? Namun bila disimak secara jeli peristiwa seni di GNI pada 19-12-24 malam tersebut bukanlah pelarangan pameran lukisan, tapi "terjadinya ketidaksamaan gelombang dalam memahami karya seni" sudah tentu dalam waktu yang tak lama ---kita harapkan--- lima lukisan yang "tabu menurut mata kurator GNI" Â tetap bisa dipamerkan.
Seandainya ada delik penghinaan atau pelecehan dalam karya-karya seni yang diciptakan seniman, silakan diberlakukan UU yang bisa dicocokkan untuk itu. Tidak perlu melarang seniman berkreasi via karya seni (tulisan, lukisan, teater atau  film). Paling tidak nasib yang dialami pelukis Hardi (1979) tidak perlu terulang di negeri yang berdasarkan Pancasila ini.
Bekasi Jaya, 21 Desember 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H