Rumah Batu Pertama Didirikan di Kota Lubukbasung
Oleh Muchwardi Muchtar
"Bangunan bersejarah adalah bangunan yang didirikan pada masa tertentu dan memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya. Bangunan ini menjadi saksi bisu dari peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan bagian dari perkembangan suatu Kawasan" (Wikipedia)
***
rumah batu, maka asosiasi masyarakat Lubukbasung akan tertuju pada sebuah rumah di jalan raya, berlantai dua (9 m X 22 m), bertangga batu di samping timur dan di (utara) belakang rumah, yang berdiri di atas sebidang tanah berukuruan 13 m X 25 m.
Rumah Batu Pasa (Rumah Batu Pasar) yang terletak di Ilir Pasar (lama) Lubukbasung, Agam, Sumatra Barat, di tahun enam puluhan sangat populer namanya. Bila zaman tersebut ada orang yang menyebutRumah batu ---yang pada bagian puncak di bawah kap-atapnya tertulis dengan huruf timbul warna hitam : ANNO 1923--- adalah rumah dari tembok warna putih bertingkat dua yang pertama kali dibangun di kota Lubukbasung. Semua kenyataan sejarah ini diakui oleh generasi masa laloe yang tahun enam puluhan sekolah di SMPN-1 Lapautalang, Jln. Gajahmada Lubukbasung.
Cerita asal usul tentang berdirinya sebuah rumah batu terbesar di zamannya (1923) di kota Lubukbasung tersebut cukup menarik. Jika tidak saya tuliskan via Kompasiana mungkin selamanya masyarakat Lubukbasung, generasi penerus atau Gen-Z tidak akan pernah tahu. Di samping generasi  yang hidup di tahun enam puluhan ---yang dilahirkan tahun 1920-an--- sudah tidak ada lagi di muka bumi, pun fakta atau tambo untuk ini sangat langka adanya di Kabupaten Agam.
Seorang pedagang  bernama Hasan Datuk Bungsu (asli Padangpanjang), ketika berhasil dalam usaha niaganya di Lubukbasung, berencana untuk membuatkan rumah bagi istri dan keluarganya. Hasan Datuk Bungsu yang beristrikan Rafiah  (perempuan suku Koto Datuk Tumanggung asli Lubukbasung) adalah kemenakan kandung dari H. Muhammad Arief gelar Rangkayo Kaciak, Datuak Rangkayo Basa (yang populer dipanggil Inyiak Galuang). Sebagai orang terkaya di Lubukbasung di zamannya (tahun 1900-an awal) sudah tentu menantunya tersebut tidak dibiarkan membeli tanah untuk perumahan. Saat itu, Inyiak Galuang memiliki hampir semua lahan (tanah dan sawah) yang berada di sekitar ilir Pasar Lama Lubukbasung.
Inyiak Galuang ---yang kini makamnya masih terjaga rapi di sebelah kiri qiblat Masjid Raya Pasar (lama) Lubukbasung--- memberikan sepetak tanah (13 m X 25 m) di Ilir Pasar Lubukbasung. Maka menantu "orang Lubukbasung" yang berasal dari Padangpanjang ini pun membangun rumah terbuat dari batu berlantai dua di tanah tersebut.
Bagi generasi yang remajanya tahun 1960-70-an di Lubukbasung mungkin bisa membayangkan letak lokasi Rumah Batu ini.
Dari Pasar (lama) Lubukbasung arah Ilir (barat) lokasinya adalah sebelah kanan, pas di seberang dari Lapau Menan Poik (1960-an) atau rumah Biliar Da Daih Gapuak (1970-an). Atau, kalau dari arah Ilia (timur) Simpang Ampek, atau dari Cubadak mau ke Mudiak, lokasinya adalah sebelah kiri, 30 meter sebelum Pasar (lama) Lubukbasung.
Sayang Rumah Batu (9 m X 22 m) berlantai dua yang dibangun tahun 1923 tersebut, ketika terjadi pelebaran jalan raya di ibukota Kabupaten Agam (1995), dari Ilir Pasar sampai ke Lapautalang (sekarang diberi nama Jl. Gajah Mada) terpaksa mengorbankan 2 m X 9 m bangunan terasnya untuk dipotong. Dengan dipotongnya bagian depan Rumah Batu maka kesakralan Lantai Dua jadi hilang sama sekali. Padahal di Lt-II inilah ada 5 kamar, untuk 5 anak perempuan Inyik Hasan dan Iyak Rafiah. Di Lt-II ada lima kamar besar 4 m X 3 m untuk 5 orang putri dari Iyak Rafiah ---Fatimah 3-3-1913, Rakiah 19-9-1919, Umi Kalsum 22-3-1922, Norma 8-2-1927 dan Fahmida 17-8-1933--- tersebut masih ada tapi tidak terawat lagi.
Nah, semenjak 1995 itu pulalah, "tangga sakral" untuk naik ke teras lantai dua Rumah Batu yang berada di sebelah Mudiak (timur) rumah, dipindahkan ke sebelah Ilir (barat) rumah, (sementara tangga sebelah utara dari lantai dua untuk turun ke dapur dan kamar mandi di pincuran belakang, tidak diubah). Dan, ketika terjadi "peristiwa G3OS 2009" (gempa tektonik tanggal 30 September 2009 yang menggoyang Sumatra Barat, kondisi Rumah Batu semakin menyedihkan.
Ketika saya datang ke Lubukbasung dalam rangka takziah atas kematian adik ipar kami di Pasarusang, Sampan (23/7/2012), kondisi kamar-kamar di lantai dua Rumah Batu masih belum bisa dipakai. Â Maklum, Rumah Batu yang dibangun tahun 1923 tersebut, saat itu belum mengenal sistem beton bertulang atau pondasi cakar ayam, maka untuk merehabilitasi Rumah Batu secara total benar-benar membutuhkan persiapan segala macam dari anak, cucu, cicit, dan piyut serta cicit-cucunya.
Sementara dari 143 orang (anak, cucu, cicit, piyut dan menantu) dari Iyak Rafiah dan Inyik Hasan Datuk Bungsu yang hidup di muka bumi hari ini, hanya seorang Ibu (Sukmawati, 67 th) dengan 3 anak, dan saudara sepupunya seorang Bapak (Muchverizon, 66 th) dengan 3 anak yang menetap di Lubukbasung. Sisanya, 136 orang (anak, kemenakan, menantu, cucu, cicit, piyut) bertebaran di bumi perantauan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dengan kondisi kehidupan dan ekonomi yang serbaneka.
Seorang Datuk di Lubukbasung pernah bertanya kepada saya, kapan Rumah Batu  yang sudah tak laik pakai (lantai duanya) itu mau direhab, saya hanya menjawab dengan sebuah lirik lagu "Cik Uniang" Elly Kasim : ...... "Iduik bak cando roda padati,  sakali di ateh sakali di bawah ......(Hidup ini bagai putaran roda pedati, sekali berada di atas, sekali berada di bawah)". Dan..., tampaknya anak cucu dari kaum suku Koto Datuk Tumanggung, Pasar Lubukbasung yang mayoritas "larek di rantau" (tidak pernah pulang ke kampung halamannya) ---kecuali dua orang tinggal di kampung halaman--- merasa "roda pedatinya" masih di bawah?
Kalau doeloe tahun 1923 Inyik (great grand father) dari kaum Koto Datuk Tumanggung Lubukbasung, selaku konglomerat di nagari Lubukbasung, bisa membangun rumah batu berlantai dua, maka seratus tahun kemudian, untuk merahibilatasi bangunan bersejarah di kota Lubukbasung tersebut tampaknya anak cucunya tidak punya dana (?). Wallahu alam.
***
Bekasi Jaya, 18 Desember 2024
LAMPIRAN :
Lubukbasung adalah sebuah kota berstatus kecamatan yang menjadi nama ibu kota dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Indonesia. Luas wilayahnya 278,4 km, atau sekitar 12,5% dari luas Kabupaten Agam. Kecamatan yang berkedudukan pada ketinggian rata-rata 102 meter dari atas permukaan laut, dan suhu udara maksimum mencapai 32 C dan minimum mencapai 25 C,
Dengan pindahnya pusat pemerintahan Kabupaten Agam dari Bukittinggi ke Lubukbasung pada tanggal 19 Juli 1993 secara de facto, kemudian diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 8 Tahun 1998, maka Lubukbasung dengan pusat pemerintahan dipindahkan ke Padang Baru. Setelah memasuki era otonomi daerah, istilah desa dan sistem pemerintahan di dalamnya diubah menjadi nagari dengan sistem pemerintahan yang berpola kepada adat istiadat masyarakat Kabupaten Agam.
***
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H