Nama Orang Minang Ada Yang Aneh?
Oleh  Muchwardi Muchtar
Sebelum terlanjur jauh masuk menikmati artikel yang saya tulis ini, ada baiknya dipahami oleh suku bangsa lain di Nusantara, bahwa orang Padang belum tentu orang Minang, tapi orang Minang pasti orang Padang. Lho, kok bisa begitu? Ya, karena saudara-saudara kami yang lahir di Padang (ibukota provinsi Sumatra Barat), bahkan nenek moyangnya semenjak dari zaman Belanda ada di kota Padang, sejatinya mereka bukanlah orang Minang.
Guna tidak membuat Anda bingung, saya akan contohkan yang simple saja. Christine Hakim ---perempuan yang sukses dengan bisnis keripik baladonya tersebut--- yang nama Tionghoanya Cheng Kim Loei, bukanlah orang Minang, dan dia pun tidak pernah mengaku orang Minangkabau. Saya pernah bertanya kepada Encim Kristin dan kepada suaminya (ketika masih bertoko di Jalan Niaga, Muaro, Padang), kampungnya dari mana? Dan, beliau selalu mengaku bahwa ia adalah orang Padang, bukan orang Minang.
Selama ini yang dapat dicatat dari orang Minang ---di samping terkenal dengan kecerdasan dan kecerdikannya (H. Agus Salim, Mohammad Yamin, Sutan Sahrir, Tan Malaka, dst) selaku founding father mendampingi Sukarno Hatta dalam melahirkan negara Republik Indonesia---- dapat dilihat dari nama, dan kemudian dilihat dari dialeknya yang medok khas Minang.
Namun akibat perkembangan zaman yang disertai asimilasi pernikahan antar suku dan penyakit "larek di rantau" (perantau yang tidak pernah pulang ke Minangkabau) faktor nama atau dialek ketika berbicara, tidak bisa lagi diambil sebagai takaran untuk menyatakan dia sebagai orang Minang.
Contoh konkretnya mungkin bisa dilihat pada penulis artikel yang sedang Anda baca ini. Saya semenjak akhir tahun 1970 sudah merantau dari Bukittinggi ikut orang tua ke bumi Jakarta, tahun 1984 menikah dengan gadis Minang yang saya kenal di Jakarta,  dan semenjak tahun 1986 tinggal di Bekasi. Karena istri asli Minangkabau, sama-sama berasal dari Kabupaten Agam, kami sehari-harinya dengan istri dan saudara-saudara lainnya (ipar dan besan) di Jabodetabek jika berdialog selalu menggunakan basa Minang. Tapi dengan anak-anak yang semuanya lahir di  Jakarta dan Bekasi kami tidak menggunakan bahasa ibu.
Meski sudah 54 tahun (lebih setengah abad) merantau meninggalkan ranah minang, namun ketika mengajar di kelas dalam Bahasa Indonesia, peserta didik saya langsung bisa menebak : "Bapak orang Padang, ya?". Begitu kentalnya ciri khas keminangan saya jika dilihat ketika bicara. Tapi, jika dilihat dari nama (yang pakai wardi) belum tentu menjadi patokan sebagai orang Minang. Sebab, nama yang pakai Wardi, Warni atau Wati itu lebih cenderung (selama ini) nama dari orang Jawa.
Bicara soal nama, saya  jadi teringat pada deretan nama orang Minang belakangan ini yang "agak aneh" bila dibandingkan dengan nama-nama orang Minang sebelumnya. Nama-nama khas Minangkabau seperti Alamsudin (walikota pertama di Jakarta Timur 1966-1973). Syamsudin (pencetus Pekan Raya Jakarta, 1968), tidak ada lagi melekat pada nama mereka. Doni Monardo misalnya, kalaulah tidak melihat dari mana asal ayah dan ibunya tidak satu pun orang yang menduga beliau adalah asli orang Minangkabau.
Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. (H.C.) H. Doni Monardo, S.I.P. (10 Mei 1963 ~ 3 Desember 2023) adalah seorang prajurit yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lahir di Cimahi, dan meninggaldunia di Jakarta. Beliau adalah asli Minang karena ayahnya, berasal dari Lintau, Kabupaten Tanah Datar dan ibu dari Nagari Sungai Tarab, Tanah Datar.
Begitu pula dengan Andrinof Achir Chaniago (lahir 3 November 1962). Kalaulah tidak disertai dengan embel-embel suku ibunya Chaniago di belakang namanya, tidak ada yang menyangka Akademisi dari Universitas Indonesia yang pernah menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bapenas dalam Kabinet Kerja (27 Oktober 2014 - 12 Agustus 2015) era Presiden Joko Widodo ini, adalah orang Minang. Untuk membantah asal usul namanya bukanlah sebagai orang Padang yang terkena krisis identitas setelah kekalahan Permesta tahun 1958, beliau pernah menjelaskan kenapa namanya berbau orang Rusia tersebut.
"Walaupun saya lahir setelah peristiwa PRRI, nama Andrinof itu tidak ada hubungannya dengan PRRI. Andrinof adalah ciri sebagian orangtua Minangkabau dalam memberikan nama kepada anak-anak mereka. Andrinof diambil dari tiga suku kata: AN (mungkin maksud orangtua saya untuk nama panggilan), DRI yang berasal dari drei atau dri (dekat ke Bahasa Jerman atau Belanda) yang artinya tiga, dan NOF yang berasal dari Nof(v)ember. Artinya, nama ini berasal dari tanggal dan bulan kelahiran saya, yakni 3 November", demikian beliau menjelaskan (Pad.Ek 30/03/2013).
Ya, nama orang Minang adakalanya adalah akronim yang diketahui oleh yang bersangkutan saja. Ada kisah purba yang hingga hari ini masih lekat dalam memeori saya. Waktu Papa kami menjabat Ka. Pesonalia di Komres 316 Padang Pariaman (1965), salah seorang putra daerah (tamatan SMA) diterima sebagai Bharada di Kepolisian RI. Namanya Safrudin, tapi Papa menyarankan agar kariernya cepat melejit kelak, namanya agar disempurnakan lebih modern lagi.  Atas kesepakatan dari ortu Safrudin, Ketika diterima selaku Polisi di kota Pariaman, namanya disempurnakan dengan nama tambahan yang disepakati para pihak, yaitu S. Putmiaskopar (yakni akronim dari Safrudin Putra Minang Asli Kota Pariaman). Kalau saja anak cucu  dari Putmiaskopar membaca tulisan saya di Kompasiana ini, bisa menghubungi penulis untuk bernostalgia tentang asal usul lahirnya "marga" Putmiaskopar di kota Pariaman.
Sehubungan dengan nama orang Minang yang berasal dari akronim ini, ada baiknya saya tunjukkan beberapa nama "aneh" orang Minang yang jelas lahir sebelum peristiwa PRRI. Paling tidak nama-nama yang saya sebutkan dapat mematahkan statetmen bahwa nama-nama orang Minang seperti Jeffrie Geovanie, Joserizal, atau Napoleon Bonaparte (teman saya asli Talang, Solok yang sekarang jadi "Ustadz" di Duren Jaya Bekasi) diberikan orangtua mereka tidak ada hubungan dengan peristiwa PRRI.
Untuk menyebutkan sebuah nama, yaitu Masmimar Mangiang (10 September 1949 ~ 29 Juni 2020), seorang ahli bahasa media yang cukup dikenal di kalangan aktivis dan wartawan senior, termasuk salah satu dari banyak orang yang memiliki nama yang berasal dari singkatan yang punya nilai "historis". Nama Mangiang di belakang namanya adalah nama orangtua laki-lakinya. Namun nama Masmimar itu adalah singkatan dari masa (singkatannya dijadikan MAS) mempertahankan (M) Indonesia (I) mardeka (MAR) yang diambil dari suasana dua setengah bulan sebelum Konverensi Meja Bundar (KMB).
Ada mantan diplomat terkemuka asal Minang bernama Wisber Loeis (lahir 1 Oktober 1934) yang pernah menjadi Duta Besar RI di PBB. Orangtua mereka yang selalu melekatkan nama Loeis pada nama belakang anak-anaknya, ketika mendapatkan anak laki-laki, penggalan nama Loewis (WIS) dilekatkan lagi pada nama anaknya yang baru lahir tersebut. Wisber itu singkat dari LoeWIS dan OktoBER, yang merupakan bulan kelahiran Wisber Loeis.
 Masih ada beberapa nama lain yang orangnya lahir sebelum peristiwa PRRI. Sotion Arjanggi rahimahullah (7 Februari 1929 ~ 9 September 2003), mantan Ketua Umum DPP Kadin di tahun 1980-an, namanya juga berasal dari singkatan. Arjanggi berasal dari Aurtajungkang Bukittinggi. Pemilik nama "aneh" lainnya adalah Revrisond Baswir (28 Februari 1958), dimana untuk nama Revrisond konon berasal dari revolusionary sound (suara revolusioner).
Jadi, dari fakta dan data yang saya kemukakan di atas, adalah terlalu berlebihan (untuk tidak dikatakan asbun) jika ada orang-orang yang mengatakan bahwa nama orang  Minang yang aneh dan berbau kebarat-baratan, adalah sebagai orang Padang yang terkena krisis identitas setelah kekalahan Permesta tahun 1958. Malah jika dilihat dari sisi kecerdikannya, orang Minang itu sangat pintar memanfaatkan otak kanannya ketika membuat akronim untuk nama-nama anaknya. .
Bekasi Jaya, 13 November 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI