Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ditunggu Undang-undang Tertib Nama Rambu-rambu Jalan Raya (UU-TNRJR)

20 September 2024   13:32 Diperbarui: 20 September 2024   21:13 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ADA JATIWARINGIN, ADA JATI  ASIH. KENAPA BISA BEDA?

Oleh Muchwardi Muchtar

 

Setiap saya melewati jalan tol dari arah tol Cikampek (Bekasi Timur) menuju pintu tol Halim Perdanakusuma, atau jalan tol  menuju Jakarta Outer Ring Road (JORR, dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar : jalur jalan tol lingkar luar Jakarta) saya selalu tersenyum sendiri. Kenapa bisa ya, sesama perusahaan yang mengelola jalan yang digunakan oleh publik memberlakukan "kebijakan yang berbeda" ketika memasang rambu-rambu dalam berbahasa Indonesia?

Sekitar 1 km atau 500 meter sebelum gerbang tol, kita akan melihat setinggi 6 meter di atas jalan terpampang rambu jalan yang menunjukkan sebentar lagi pintu tol Pondokgede dan Jatiwaringin akan kita lewati. Kemudian, kalau kita memasuki jalur belok kiri ke arah Pondokindah, kita pun akan melewati rambu jalan yang bertuliskan Jati Warna dan Jati Asih.

Bagi konsumen jalan tol yang memandang sesuatu biasa-biasa saja, atau orang-orang yang cuek dengan lingkungannya tentu tulisan pemberitahuan nama tempat tersebut tidak ada yang aneh. Toh, rambu-rambunya sudah jelas dan apa adanya. Bahkan bagi pengemudi yang mempunyai setitik darah seni,  ---ketika saya mengatakan penulisan rambu-rambu tersebut aneh--- akan berkomentar sambil mengutip ucapan terkenal William Shakespeare "what is in a name?" (apalah arti sebuah nama?)

Namun, bila  kita mengacu pada penerapan Bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  yang dikelola secara profesional dan bertanggung jawab oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, tentu kita jadi heran. Kenapa dalam penulisan nama-nama tempat, desa, kota atau wilayah di area publik tidak seragam, dan seakan mengabaikan ketentuan dan perundang-udangan?

Bukankah panduannya ---sebelum membuat plang rambu-rambu di jalan tol--- sudah disiapkan oleh laman resmi pemerintah? Kalau saja sebelum membuat plang nama tempat atau nama kota, sebagai rambu-rambu lalin, para pengelola jalan tol mau sedikit meluangkan waktu untuk mengintip panduan yang saya sebutkan di atas, tentu tulisan ini tidak akan ada di Kompasiana.

Gambar asli : Muchwardi Muchtar
Gambar asli : Muchwardi Muchtar

Dalam panduan resmi tersebut, dijelaskan bahwa nama kota yang terdiri dari lebih dari dua kata harus ditulis tergabung menjadi satu kata tanpa spasi. Hal ini berlaku untuk nama tempat yang memuat nama generik dan spesifik geografis lainnya, seperti gunung, bukit, tanjung, ujung, selat, lembah, dan lainnya.

Contoh penulisan nama kota yang digabungkan antara lain : Gunungsitoli, Cimahi, Bukittinggi, Muarajambi, Tanjungpinang, Tanjungpriok, Kruengraya, Sungailiat, Bandarlampung, Balikpapan, Ujungpandang, Airmadidi. Sedangkan untuk nama tempat yang terdiri dari tiga kata, penggabungan dilakukan untuk dua kata pertamanya. Contohnya, "Tanjung Karang Pusat" ditulis menjadi "Tanjungkarang Pusat"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun