Mohon tunggu...
Muchtar Adam
Muchtar Adam Mohon Tunggu... -

Muchtar Adam, lahir 10 September 1939 di Benteng, Selayar, Sulawesi Selatan, adalah Pemimpin Pondok Pesantren al-Qur ân Babussalam, Ciburial Indah, Dago-Atas, Bandung Utara. Pernah menjadi dosen agama UNPAD sejak 1974-1989.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Bisa Shalat Kalau Tak Mabuk

25 Februari 2016   07:27 Diperbarui: 25 Februari 2016   07:36 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pesantren Babussalam di Wakatobi (Dok: fxmuchtar)"][/caption]Sebagai orang yang mendapat tugas dari pembinaan masyarakat dari Depag, saya sering mendapat kejutan. Yang saya ceritakan kali ini adalah pengalaman saat membangun pesantren Babussalam di Wakatobi. Memang sejak bertugas di DPR RI, saya berupaya memajukan pendidikan di pulau-pulau terpencil dan terdepan. Setelah membangun pesantren di Selayar, Aceh dan Sukabumi, saya merintis pembangunan sekolah di Nias dan Wakatobi.

Dulu wakatobi dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi, sebab pulau yang dekat dengan Buton ini adalah penghasil parang dan alat besi yang sangat berkualitas. Saya juga mengenal Wakatobi sebagai tempatnya para penyelundup barang import. Karenanya sangat mudah mendapatkan barang bermerek dengan harga sangat murah. Sekarang Wakatobi lebih dikenal dengan Keindahan lautnya.

Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara dengan penduduk muslim 100 %. Walaupun muslim, mereka sangat akrab dengan minuman keras dan pesta. Adat kebiasaan sehari-harinya tidak lepas dari minum-minum ballo arak, sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari nira dan akar bakau. Berjudi, sabung ayam, dan tarian-tarian yang bercampur laki-laki dan perempuan dalam setiap acara-acara (bahkan dalam acara keagamaan) adalah hal biasa. Beberapa kali saya temukan mereka bekerja membangun pesantren dalam keadaan mabuk. Pernah juga saya dapatkan pembangunan pesantren libur karena ada pesta maulid di kampung dekat Matahora. Namun demikian jangan hina keislaman mereka, jangan dibilang sesat apalagi disebut kafir. Mereka akan siap angkat senjata jika ada yang menghina keislaman mereka.

[caption caption="tak bisa shalat kalau tak mabuk (Dok : Kompas)"]

[/caption]“Saya tak bisa jadi imam kalau tak mabuk dulu Pak!” kata seorang imam mesjid di Wanci. Saya terpana mendengarnya. Dalam Al Qur'an jelas bahwa sejenis minumam memabukan itu haram, apalagi secara khusus ada ayat yang mengatakan tak boleh shalat dalam keadaan mabuk. Kalimat yang diucapkan imam itu membuat saya merenung dan bertanya-tanya, mengapa di masyarakat yang 100% muslim, adat seperti itu bisa mengakar. Jawabannya ternyata ada kaitannya dengan urusan politik kolonialisme.

Saat Islam datang ke Nusantara, Islam langsung bisa membentuk sistim kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga terbentuklah Kerajaan Kerajaan Islam di Tanah Air, dengan pelaksanaan hukum Islam seperti di Kerajaan Islam Buton, Samudera Pasai atau Kerajaan Demak.

Ketika para penjajah masuk ke Nusantara dan mencengkeramkan kekuasaannya, maka dengan garis  politik yang merupakan kelanjutan dari misi Perang Salib, secara bertahap sistim yang sudah dibangun oleh kerajaan-kerajaan Islam itu dihancurkan. Tujuan lain dari hal ini adalah melemahkan masyarakat dan juga menguasai sumber daya alam.

[caption caption="Para santri Babussalam datang dari berbagai pulau (Dok : FXmuchtar)"]

[/caption]Caranya dengan mencampur adukan nilai Islam dengan adat-adat yang merusak. Minuman keras dan dansa dansi adalah yang paling mudah disebarkan. Maka jalin dirubuhkan lah satu batu demi satu batu, sistim Islam yang sudah dibangun itu dengan kebiasaan yang melemahkan masyarakat. Kemudian hal itu menjadi adat yang seakan menjadi identitas masyarakat.

Sekarang bagaimana mengubah adat dan kebiasaan yang sudah berurat berakar di masyarakat itu? Saya memilih jalan perubahan dan memotong akar adat itu melalui pendidikan. Pendidikan ini mencakup pendidikan di Pesantren dan juga gerakan di mesjid-mesjid. Biarlah orang tua mereka begitu, tapi beberapa tahun ke depan akan lahir generasi baru dengan adat dan perilaku yang baru.

 

 

Kunjungi tulisan lainnya :

1. Imam Mahdi dan Mesjid Penuh Anjing

2. Tali Allah itu Tergantung di Tengah Mesjid

3. Shalatlah Memakai Bangkai Tikus dan Kayu

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun