Mohon tunggu...
Muchson Thohier
Muchson Thohier Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa

Rindu Harmoni

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Saat Masalah “Mengguncang” Keluarga

21 Agustus 2016   16:18 Diperbarui: 21 Agustus 2016   16:42 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga yang hebat bukanlah keluarga yang tanpa masalah.  Masalah akan selalu beriringan dengan kehidupan manusia. Dalam keluarga masalah bisa datang kapan saja dan darimana saja. Masalah bisa datang di awal menikah dan di sepanjang usia pernikahan. Bisa datang dari suami, istri, anak, pembantu atau hal-hal yang bersifat eksternal semacam mertua, tetangga, saudara, kondisi lingkungan atau bahkan kondisi aktual sebuah negeri. Jenis masalahnya pun beragam, bisa masalah finansial, kesehatan, interaksi antar personal dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan, tercederainya komitmen-komitmen bersama seperti perselingkuhan, kekerasan (KDRT), dan semacamnya.

 Kehebatan sebuah keluarga akan ditentukan seberapa mampu mengelola dan memilih penyelesaian yang terbaik dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Dalam banyak kasus, bukan besar atau kecilnya permasalahan yang melemahkan atau bahkan meruntuhkan bangunan rumah-tangga, namun “cara menyikapi” permasalahanlah yang menjadi penentunya.

 Ada pasangan suami istri yang lebih sibuk bertengkar, berdebat dan bersilat-lidah mencari kalah menang bahkan oleh hal-hal yang sepele. Hanya karena cemburu, mereka habiskan waktu yang panjang untuk saling berhadapan layaknya seorang musuh. Padahal urusan cemburu sebenarnya menghinggapi setiap keluarga dan pasangan. Perbedaannya cara menyikapi kecemburuan ada yang begitu emosional, ada juga yang elegan dan matang.

 Penulis pernah bertemu dengan pasangan suami istri yang nyaris ribut setiap hari. Begitu mudahnya pasangan ini tersinggung satu sama lain hanya masalah ucapan dari pasangannya. Walau penulis tidak mengatakan ucapan-ucapan itu sebagai ucapan yang baik, namun menurut penulis ucapan-ucapan tersebut belum masuk kategori kesalahan yang fatal. Karena sensitifitas pasangan ini begitu tingginya, sehingga nyaris tidak ada ruang bagi pasangannya untuk berlaku salah, atau bahkan kadang  tidak berlaku salah pun dipersepsikan oleh pasangan sebagai sebuah “kesalahan”.

 Banyak pihak, baik itu suami, istri atau bahkan anak, yang mesti menerima vonis-vonis negatif lebih karena masalah “persepsi”. Saat seseorang telah terjebak pada persepsi negatif tentang orang lain, biasanya perkataan dan perilakunya akan dituntun dan dipengaruhi oleh persepsi tersebut. Tentu ini amat merugikan, baik bagi subyek persepsi maupun obyek yang dipersepsikan.

Kalaulah misalnya seseorang yang terlanjur dipersepsikan negatif itu faktanya memang benar-benar negatif, tetap saja butuh cara dan langkah yang tepat agar bisa memperlakukannya secara adil. Tidak tepat juga bila orang yang salah dimarahi, direndahkan, dilecehkan dengan kata-kata dan sikap yang tak pantas, terlebih bila itu adalah suami, istri, anak, atau keluarga sendiri. Dan lebih tidak tepat lagi bila yang dipersepsikan negatif tersebut dalam kenyatannya tidak terbukti.

Banyak keluarga yang tidak mampu memilih solusi yang tepat saat menghadapi berbagai permasalahan yang datang. Saat datang masalah finansial misalnya, bukannya segera menetapkan skala prioritas dalam hal pengeluaran dan mencari kemungkinan menggali pemasukan baru yang halal, malah ribut dan bertengkar saling menyalahkan, menyebut pihak lain sebagai penyebab musibah itu sembari mengorek kesalahan pasangan di masa lalu. Seolah persoalan yang dihadapi itu bukan masalah bersama dan menjadi tanggung-jawab bersama pula untuk mencari jalan keluar.

Saat menyaksikan kondisi fisik pasangan tak lagi semenarik dulu, mestinya muncul sikap memaklumi karena tiada kecantikan atau ketampanan yang abadi. Raga pasti menua. Dan kalaulah sikap memaklumi itu belum sepenuhnya cukup, bantulah pasangan untuk bisa menjaga pesona fisiknya dengan cara berpola hidup sehat, dekat dengan Tuhan sehingga bisa bersabar dan bersyukur saat dibutuhkan. Bila jiwa raganya sehat, pesona fisik seseorang akan tetap terjaga.

 Bukan justru mencoba mencari pelampiasan di luar. Menjaring dan memikat laki-laki tampan atau perempuan cantik yang tak semestinya. Bermain api seperti ini jelas tidak mungkin menyelesaikan masalah. Atau kalaulah menyelesaikan masalah hanya sementara sifatnya dan pada saatnya tiba akan datang masalah baru yang jauh lebih besar dan lebih dahyat. Pola penyelesaian masalah seperti ini seperti mengobati penyakit dengan obat yang tidak seharusnya. Tentu sulit mendapati kesembuhan.

Ada juga keluarga yang seperti terjebak dalam pusaran yang sama. Masalahnya dari waktu ke waktu itu itu juga. Mereka seperti tidak belajar dari masalah yang dihadapinya itu. Seolah mereka tak memiliki pemandu yang jelas dalam menjalani pelayaran rumah tangganya.  Sekedar mengikuti arah angin saja, muter-muter dan tak pernah beranjak jauh menuju arah sebagaimana yang mereka deklarasikan di awal pernikahan. Alih-alih mendapati kebahagiaan, justru impian-impian indah itu berganti dengan derita dan rasa sakit.

            Laksana Wortel, Telor atau Kopi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun