Mohon tunggu...
Muchroji M Ahmad Muhadi Ibnu Ahmad
Muchroji M Ahmad Muhadi Ibnu Ahmad Mohon Tunggu... -

dunia ini hanya sesaat, pastikan ujungnya mulia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Idul Adha beda lagi

1 Oktober 2014   20:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:46 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Idul Adha beda lagi

Secara pribadi saya lebih yakin Idul Adha 1435 H tahun ini 2014 jatuh pada hari sabtu 4 oktober 2014. Pasalnya hampir setiap hari diberitakan bahwa wukuf di arafah di musim haji tahun ini ditetapkan hari Jum’at 3 oktober 2014. Itu artinya esoknya Idul adha, yakni sabtu 4 oktober. Kalau mau hitung-hitungan Indonesia malah 4 jam lebih dahulu dibanding Makkah Arab Saudi, kalau di sinipk 10.00 wib waktu Makkah baru pk 06.00 pagi. Tapi entah kenapa pemerintah lewat Depag dalam sidang isbatnya menetapkan satu zulhijjah hari kamis, 25 September 2014, sehingga 10 zulhijjah menjadi hari minggu 5 oktober 2014. Padahal info wukuf di Arafah ada ditangannya, karena merekalah yang mengelola jamaah haji.

Yang sempat saya dengar, alasannya adalah saat matahari tenggelam di Indonesia tanggal 24 september 2014, posisi hilal kurang dari 2 derajat. Artinya hilal belum bisa dilihat. Esok harinya baru bisa dilihat ketika hilal mencapai 4 derajat, tepatnya saat matahari terbenan pk 17.48 Wib. Jadi Pemerintah menetapkan Idul Adha sesuai dengan keputusan Hari Libur nasional 2014/tanggal merah, yaitu hari Minggu tanggal 5 Oktober 2014, berbeda dengan Arab Saudi. Dan puasa Arafah dilaksanakan hari Sabtu tanggal 4 Oktober 2014, di beberapa bagian negara lain hari jum’at tgl 3.

Dalam obrolan sabtu malam di musholah AlHikmah*1, saat melihat suasana persami 27 sep 2104 untuk siswa baru SMP, obrolan berkembang kepada masalah pemerintah menetapkan hari idul adha minggu 5 oktober 2014, walaupun awalnya ngalor ngidul saja, sesukahati. Dalam keseluruhan pembicaraan dapat disimpulkan, menyayangkan hasil isbat Depag dan diteruskan dengan mempertanyakan kenapa sih pemerintah masih menggunakan metode melihat hilal dengan teropong yang sudah jadul. Dilakukan oleh tokoh/ilmuan agama yang sudah berkecamata tebal pula, sehingga dikhawatirkan penglihatannya sudah mulai tidak jelas lagi atau setidaknya sudah mulai kabur. Belum lagi masalah kabut yang bisa saja menghalangi pandangan saat meneropong. Kenapa tidak menggunakan teropong canggih atau hitungan modern-metode hisabiyah yang sudah bisa menghitung beberapa tahun ke depan.

Dalam beberapa kesempatan disela-sela obrolan saya sampaikan bahwa pemerintah masih meyakini kebenaran metode ru’yah, karenanya ru’yah hilal masih menjadi landasan utama dalam menetapkan awal bulan hijriyah. Bila ia melihat hilal maka masuklah awal bulan, sebaliknya bila belum melihatnya maka digenapkan eskoknya masuk awal bulan. Dan itu berlaku masing-masing daerah, artinya bisa jadi berbeda dalam penetapan awal bulan, tergantung masing-masing daerah, sudah terlihat hilal atau belum.

Sebagai contoh, apabila di negeri petukangan kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain-kreo belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain-kreo juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri petukangan yang melihatnya . dalam hal ini yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri petukangan, Jika dua negeri masih satu hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di negeri petukangan telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya- yang satu hilal. jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing.

Pendapat tersebut diatas lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas. Dalil Al Qur’an Qs 2:185 difirmankan “ karena itu, siapa saja di antara kamu hadir -di negeri tempat tinggalnya- di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).

Dipahami dari ayat ini, siapa saja yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa. dari As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080).

Dari hadist tersebut dipahami, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya.

sedang dari dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah hal yang disepakati. Siapa saja dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.

Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Berdasarkan ini, siapa saja berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negerinya sendiri (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, siapa sajaharus mengikuti penentuan hilal di negerinya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun