Di desa Ngawonggo ini kami menjalankan observasi di salah satu tempat wisata pertitaan atau juga disebut pemandian suci yang sudah berdiri lama tetapi ditemukan sejak 1970-an dan dirawat pada tahun 2017. Di sana kami menemukan beberapa keunikan yang ada di peninggalan tersebut, yaitu banyak arca dan relief, melepas alas kaki di tempat tertentu, penyajian makanan dan minuman dengan harga seiklasnya, dan banyak hal yang unik lain-nya.
"Area situs dibersihkan setiap hari agar tidak ditumbuhi rumput," terang Muhammad Yasin, juru pelihara sekaligus Ketua Kelompok Sadar Wisata [Pokdarwis] Situs Petirtaan Ngawonggo, Rabu, 8 Juni 2022.
Sebagai situs dengan karakter petirtaan atau pemandian suci, Petirtaan Ngawonggo selalu bersinggungan dengan air. Dipercaya, situs ini tempat para rohaniawan menyucikan diri. Mandala atau kahyangan, sebutannya
Penemuan kembali situs, bermula ketika mas Yasin dan kawan-kawan mengunggah video lokasi bersejarah di desanya melalui akun YouTube, April 2017. Komunitas pegiat sejarah di Malang Raya melaporkan informasi itu ke Badan Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] Jawa Timur.
Â
Arca dan relief.
Kondisi relief, sebagian besar tampak rapuh/terkikis. Meski masih bisa dilihat dan dibaca tanda-tanda yang memudahkan penafsiran visualnya, dibentangkan tali untuk mencegah pengunjung memegang langsung relief yang dipahatkan. Upaya preventif dilakukan, sebab struktur Petirtaan Ngawonggo terbuat dari batu cadas yang mudah lapuk dan hancur.
Mas Yasin menambahkan, pembersihan situs dengan metode mekanis kering. Tanpa menggunakan air yang disemprotkan dengan tekanan tertentu. Alatnya berupa sikat ijuk halus.
"Perlahan dan hati-hati, menjaga situs tak luruh," jelasnya.
Wawancara kepada Mas Yasin
Melepas alas kaki di tempat tertentu/suci.
Dalam peninggalan ini mengadakan kegiatan 1tahun sekali syukuran bersama para warga sekitar yang di adakan setiap bulan suro. Dan kenapa kita diharuskan melepas alas kaki apapun yang di pakai?, karena ada bagian relief, arca tersebut lapuk sehingga rentan terhadap gesekan gesekan dari kita.
Dan tempat peninggalan ini salah satu peninggalan yang tentunya sakral dan memiliki cagar budaya yang dijaga, oleh karena itu kita sebagai pengnjung luar maupun dalam harus mengetahui larangan larangan yang umum disana yang dimana tidak boleh berkunjung pada saat udhur/datang bulan, menjaga sikap(perkataan dan perbuatan).
Â
Makanan dan minuman dengan harga seiklasnya.
Disitus petirtaan juga ada tempat untuk sajian makanan dan minuman hangat seperti wedang, kami saat observasi diajak oleh mas Yasin."Apa saja bahan pembuatan wedhang ngawonggo tersebut sehingga nikmat di tenggorokan?"
Wedhang ngawonggo yg dibuat dari sereh, jeruk, dan jahe, bunga rosela.
Tomboan abang terbuat dari secang
Tomboan ijo bahan dari daun kelor
Â
"Pengunjung yang ke sini tidak perlu membeli apapun di sini, sebab tempat ini bukan warung. Monggo siapapun yang mau datang ke sini dan akan kami jamu seadanya," ucap Mas Yasin, salah satu pengelola situs ini.
Mulai dari minuman selamat datang, makanan utama, makanan ringan, hingga teh maupun kopi hangat yang cocok dinikmati dengan suasana tempo dulu situs ini kapan lagi berwisata gratis sekaligus dijamu dengan paripurna?
Satu hal yang membuat menikmati makanan di sini sangat menyenangkan adalah suasana tradisional khas tempo dulu seperti di rumah nenek. Makanan juga disajikan secara prasmanan agar para pengunjung tidak merasa sungkan saat ingin menambah nasi, sayur, maupun lauk.
Seorang ibu-ibu yang berada di bagian dapur juga tampak sangat ramah menyambut saya. Ia berkata dengan senyum sumringah, "monggo mas, sekecaaken. Sampean tanduk, mboten usah sungkan. Nek ngersaaken kopi nopo teh sampean sanjang mawon".
Â
Di bawah koordinasi Yasin, anggota Pokdarwis Situs Petirtaan Ngawonggo yang berjumlah 40-an orang, bahu membahu melestarikan, menjaga, dan merawat tinggalan tersisa. Bersama warga Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, mereka menggelar kerja bakti sebulan atau dua bulan sekali. Kelompok mahasiswa juga kerap bertandang melakukan program pengabdian terkait perawatan situs.
"Rentan lapuk dan hancur, apalagi ketika terjadi bencana. Harus dilestarikan bersama," kata Yasin.
Ahmad Hariri menambahkan, upaya pelestarian cagar budaya menjadi kewajiban setiap warga. Dia mengapresiasi upaya Yasin dan warga, secara swadaya melestarikan situs.
"Warga bisa memanfaatkan situs tanpa merusak, bahkan ketika tanpa anggaran dari pemerintah," imbuhnya.
Â
Dan setelah disajikan secara sederhana tersebut kami mengumpulkan iuran untuk menyumbang ke kotak asih yang disediakan di dekat gapura selamat datang. Kemudian kami semua undur diri kepada Mas Yasin dan ibu-ibu yang ada di area pawon dhaharan untuk mengucapkan terima kasih dan sampai bertemu kembali. Terima kasih atas ketulusan sekaligus kehangatan dan harapan untuk perjumpaan lain di waktu-waktu yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H