Mohon tunggu...
Muchlis
Muchlis Mohon Tunggu... -

Sangat tertarik dengan sejarah, sastra, dan budaya. Kunjungi: www.berandaesai.blogspot.com dan @lekmuchlis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memaafkan Sukarno

8 Oktober 2015   11:09 Diperbarui: 8 Oktober 2015   11:09 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata “maaf” ujug-ujug menjadi populer ketika berbicara Peristiwa 1965. Belum lama, Presiden Jokowi berencana meminta maaf kepada para korban Peristiwa 1965. Bila memang permintaan maaf secara resmi benar terlaksana, Jokowi akan menjadi presiden kedua setelah Gus Dur yang melakukan langkah serupa. Hanya Gus Dur presiden yang berani secara terbuka menyatakan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965. Gus Dur berpandangan bahwa negara bertanggungjawab atas pembunuhan dan penangkapan massal simpatisan -dan juga mereka yang juga dikaitkan dengan- PKI.

Belum selesai urusan Presiden Jokowi dengan korban Peristiwa 1965, persoalan kembali muncul saat cucu mantan Presiden pertama RI, Puan Maharani, meminta pemerintah untuk segera membersihkan tuduhan keterkaitan kakeknya pada peristiwa tersebut. Meski Sukarno telah mendapat gelar pahlawan nasional, Puan merasa bahwa pengangkatan gelar tersebut belum bisa mengobati perasaannya yang “mengganjal”. Sukarno memang diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tapi ia dianggap telah menjadi “korban” sejarah karena dihubungkan dengan pembuhunan para Jendral yang dilakukan oleh Gerakan 30 September (G30S). Citra pahlawan nasional yang melekat pada dirinya pun ternoda. Akankah pemerintah akan membersihkan Sukarno dari “noda” masa lalu yang dicapkan Orde Baru dan kadung diwariskan hingga saat ini?

Usulan “pembersihan” nama Sukarno dari tuduhan keterlibatannya dengan G30S , betatapun terus disuarakan, sepertinya akan menunai jalan panjang. Bahkan, pembersihan tersebut bisa saja menjadi mustahil bila merujuk pada pengadilan sejarah yang seolah-olah menuliskan nama Sukarno sebagai terdakwa. Sejarah yang ditulis penguasa rezim Orde Baru, tidak saja telah menghilangkan peran besar tokoh proklamator dalam mendirikan Republik Indonesia melainkan juga menyebutkan kesalahan fatalnya lantaran kedekatannya dengan PKI. Penulisan sejarah resmi dari rezim yang berkuasa selama 32 tahun telah menitikan noda hitam pada ketokohan sang bapak bangsa.

Pada titik inilah, kedewasaan demokrasi masyarakat kita tengah diuji. Demokrasi semestinya mampu menghilangkan warisan hegemonik rezim otoriter sebelumnya. Bila masyarakat Indonesia belum bisa meninggalkan cara berpikir rezim ototiter sebelumnya, maka proses demokrasi yang berjalan hingga saat ini patut dipertanyakan. Proses demokrasi semestinya membuka seluas-luasanya cara-cara berpikir baru, bukan hanya pada cara-cara berpolitik melainkan juga cara memahami masa lalu.
Kekeliruan memahami masa lalu yang masih terjadi hingga saat ini adalah kecenderungan masyarakat kita memitoskan sosok-sosok yang disebut sebagai “pahlawan” dan “pemberontak”. Cap-cap ini tidak lepas dari campur tangan rezim Orde Baru yang bertanggungjawab memproduksi dikotomi (pemisahan) antara pahlawan dan pemberontak.

Selama ini, pemahaman atas pahlawan senantiasa merujuk pada sosok yang sempurna, bahkan melampaui kodrat manusia biasa. Dengan cara berpikir ini maka seorang pahlawan telah dilepaskan dari fitrahnya sebagai manusia biasa yang memiliki kemungkinan membuat kesalahan. Bukankah Sukarno juga manusia biasa yang pernah berbuat salah sebagaimana kita?

Pada saat yang bersamaan, mereka yang dicap sebagai “pemberontak” akan dicatat dalam sejarah sebagai pesakitan. Mereka yang disebut sebagai pemberontak bahkan dikeluarkan dari kategori manusia yang memiliki sisi kemanusiaan dan kebaikkan. Bila pahlawan adalah dewa tanpa cacat, maka pemberontak adalah makhluk lain di luar manusia yang kudu dihindari. Dalam konteks konstruksi kata “pahlawan” dan “pemberontak” tersebut, Puan Maharani, merasa terusik bila Sukarno mewakili kedua-duanya.

Pada akhirnya, cara memaafkan hanya dapat dilakukan dengan mengubah cara berpikir atas masa lalu. Sejarah bukan lagi menjadi cara untuk memutuskan siapa pahlawan-pemberontak. Sebaliknya, sejarah adalah suatu gambaran keseluruhan hidup manusia yang berwarna.

Dengan demikian, Sukarno, betapa pun adalah seorang Pahlawan, juga manusia biasa dengan segala warna-warninya. Tidaklah kita, sebagai masyarakat yang dikenal memiliki tradisi saling memaafkan, bisa memaafkan Sukarno –sebagai manusia biasa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun