Pada saat kejadian itu, Pak Naro berada di Temanggung. Ia tak tahu menahu apa yang terjadi di ibu kota sana. Yang ia tahu hanyalah keadaan politik di desa-desa yang kian memanas. Faksi politik menciptakan kemungkinan konflik terbuka antara kelompok islam dan komunis.Â
Hari-hari Pak Naro dipenuhi perasaan khawatir. Di Jakarta, kekuatan militer telah mengumumkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di balik penculikan dan pembunuhan para jendral. Sekali lagi, Pak Naro tak pernah tahu apa-apa.Â
Situasi berubah cepat. Konflik politik benar-benar terjadi di tingkat desa. Mereka yang dianggap simpatisan PKI ditangkapi. Bahkan, ada pula yang tak pernah terkait dengan PKI ditangkap pula. Pak Naro sendiri tak pernah menjadi anggota PKI. Tapi, karena ia bergabung dengan organisasi yang disebut-sebut berafiliasi dengan partai berlambang palu arit tersebut, Pak Naro pun diamankan.
Pak Naro tak ingat kapan waktu penangkapan itu. Namun, ia ingat betul bahwa tentara lah yang membawanya menggunakan truk. Ia merasa bingung, kenapa ia ditangkap tanpa alasan.Â
Dalam proses penahan tanpa pengadilan, Pak Naro pun menerima vonis bersalah. Ia kemudian ditahan (tak menceritakan dimana), dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Selama lebih dari 10 tahun ia mendiami pulau tersebut bersama ribuan Tahanan Politik (Tapol) lainnya.Â
Selama di Buru, tak henti-hentinya Pak Naro mendapat perlakuan kasar. Selain dipaksa kerja "korve", membuka persawahan dan menamaminya, hingga hasil panennya dikonsumsi sendiri. Begitulah hari-harinya berlalu di pembuangan. Dia tak pernah tau kapan ia pulang kembali ke Jawa.Â
Menjadi buangan politik tak pernah terbayangkan sebelumnya. Apalagi, Pak Naro hanyalah seorang guru biasa. Ia tak pernah berpolitik. Ia juga tak tahu kenapa ia dikaitkan dengan penculikan para Jendral.Â
Pada dekade 1980-an, ribuan tahanan politik di pulangkan ke rumah mereka. Pak Naro menjadi salah satu diantaranya. Ia pun memutuskan pulang kembali ke Temanggung, kota tempat kelahirannya.Â
Sayang, ketika pulang ia melihat semuanya sudah berubah. Ia sendirian. Malah, Pak Naro sempat kebingungan karena tak tahu ia harus tinggal dimana, dan bersama siapa. Ia seperti seorang yang baru datang dari tempat lain, jauh sekali, dan memulai kehidupan baru dengan beban masa lalu.
Sementara itu, pulang tidak memberinya kebahagiaan. Pulang justru membuat ia bertanya: apa yang harus ia lakukan. Ia tak memiliki pekerjaan. Ketrampilannya mengajar juga tak mungkin lagi ia gunakan. Statusnya sebagai Eks-Tapol dan cap "PKI" yang melekat padanya membuat hak-haknya dicabut. Hak politik dan hak warga negara!!!
Beruntung, Pak Naro akhirnya ditolong oleh kebaikkan keluarganya. Ia kemudian menghabiskan masa tua dalam banyang-bayang masa lalu yang tidak saja berat, tetapi menyisakan trauma mendalam.Â