Mohon tunggu...
Muchlis
Muchlis Mohon Tunggu... -

Sangat tertarik dengan sejarah, sastra, dan budaya. Kunjungi: www.berandaesai.blogspot.com dan @lekmuchlis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah Seorang Guru yang Menjadi Eks Tapol dan Di-PKI-kan

1 Oktober 2015   12:48 Diperbarui: 23 Oktober 2015   11:23 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya kenalan lama. Dia seorang guru di era 1960-an. Namanya Pak Naro. Pria kelahiran Temanggung ini, selain ramah, juga tak pernah kehabisan cerita. Jiwanya sebagai seorang guru mencerminkan keluasan pengetahuan. Caranya berkisah sangat mengesankan.

Ketika cerita pengalamannya menjadi guru di era pemerintahan Sukarno, mimik wajahnya seketika berubah.Dari nada suara yang kalem,  ia tiba-tiba menjadi bersemangat. Maklum, Profesi guru, bagi dirinya, adalah sebuah kebanggaan. 

Pak Naro menjadi guru sejak ia berusia belia. Ia adalah pria satu-satunya yang dihormati di desa tempat dia tinggal lantaran status keprofesiannya. Penghormatan ini, katanya, memang lazim diberikan masyarakat kepada seorang guru pada masa dulu. 

Sebagai seorang guru, ia sadar betul pada tugasnya. Malah, Pak Naro, selalu menempatkan dirinya menjadi bagian dari memajukan bangsa. Misi ini, katanya, adalah bagian dari perjuangan "nation building" yang selalu didengung-dengungkan Presiden Sukarno. 

Pada era 1960-an, demikian Pak Naro berkisah, adalah era dimana kepedulian masyarakat terhadap pendidikan masih sangat rendah. Tak banyak anak-anak yang mau masuk sekolah. Alasannya bukan karena biaya sekolah mahal. Rata-rata orang tua tidak memperbolehkan anaknya sekolah karena alasan pekerjaan. Kebanyakan orang tua masih berpandangan bahwa tugas seorang anak adalah membantu orang tuanya (titik!).  

Dalam keadaan demikian, tugas menjadi guru pun tidak hanya mengajar di kelas. Pak Naro tidak hanya mengajarkan menulis huruf latin dan membaca, tetapi juga mengajak anak-anak di desa agar mau sekolah. Ia tak segan mendatangi rumah-rumah untuk membujuk orang tua supaya mau memasukkan anaknya ke sekolah. Bagi Pak Naro, pendidikan adalah bagian dari memajukkan bangsanya.

Dalam menjalankan tugas yang tidak ringan itu, Pak Naro harus menutupi beban kehidupannya. Kesejahteraan menjadi guru belum mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Gaji guru sangat rendah. Bahkan, untuk membeli sepatunya saja ia tak mampu. Sepanjang menjadi guru selama 5 tahun ia hanya memiliki dua pasang sepatu. Itu pun ia beli dengan susah payah. 

Kesejahteraan guru yang dirasa jauh dari standar tersebut telah mendorong Pak Naro untuk bergabung dengan organisasi guru PGRI Non Vaksentral. Organisasi guru Non-Vaksentral merupakan pecahan dari PGRI yang diidentikkan memiliki hubungan dengan PKI. Sejumlah literatur menyebutkan PGRI Non Vaksentral memiliki ambisi politik karena afiliasinya dengan partai.

Menurut Pak Naro, keikutsertaannya dengan PGRI Non Vaksentral hanyalah usahanya untuk menyampaikan aspirasinya sebagai seorang guru. Ia berharap dengan dukungan anggota dan kesamaan visi di dalam organisasi tersebut, bisa menjembatani tuntutan peningkatan kesejahteraan bagi guru. 

Peristiwa 1 Oktober 1965 yang Merubah Hidup Pak Naro

Pada akhir tahun 1965, pusaran politik di Jakarta memanas. Pada dini hari, ada penculikan jendral yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang menamai diri mereka Gerakan 30 September (G30S).

Pada saat kejadian itu, Pak Naro berada di Temanggung. Ia tak tahu menahu apa yang terjadi di ibu kota sana. Yang ia tahu hanyalah keadaan politik di desa-desa yang kian memanas. Faksi politik menciptakan kemungkinan konflik terbuka antara kelompok islam dan komunis. 

Hari-hari Pak Naro dipenuhi perasaan khawatir. Di Jakarta, kekuatan militer telah mengumumkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di balik penculikan dan pembunuhan para jendral. Sekali lagi, Pak Naro tak pernah tahu apa-apa. 

Situasi berubah cepat. Konflik politik benar-benar terjadi di tingkat desa. Mereka yang dianggap simpatisan PKI ditangkapi. Bahkan, ada pula yang tak pernah terkait dengan PKI ditangkap pula. Pak Naro sendiri tak pernah menjadi anggota PKI. Tapi, karena ia bergabung dengan organisasi yang disebut-sebut berafiliasi dengan partai berlambang palu arit tersebut, Pak Naro pun diamankan.

Pak Naro tak ingat kapan waktu penangkapan itu. Namun, ia ingat betul bahwa tentara lah yang membawanya menggunakan truk. Ia merasa bingung, kenapa ia ditangkap tanpa alasan. 

Dalam proses penahan tanpa pengadilan, Pak Naro pun menerima vonis bersalah. Ia kemudian ditahan (tak menceritakan dimana), dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Selama lebih dari 10 tahun ia mendiami pulau tersebut bersama ribuan Tahanan Politik (Tapol) lainnya. 

Selama di Buru, tak henti-hentinya Pak Naro mendapat perlakuan kasar. Selain dipaksa kerja "korve", membuka persawahan dan menamaminya, hingga hasil panennya dikonsumsi sendiri. Begitulah hari-harinya berlalu di pembuangan. Dia tak pernah tau kapan ia pulang kembali ke Jawa. 

Menjadi buangan politik tak pernah terbayangkan sebelumnya. Apalagi, Pak Naro hanyalah seorang guru biasa. Ia tak pernah berpolitik. Ia juga tak tahu kenapa ia dikaitkan dengan penculikan para Jendral. 

Pada dekade 1980-an, ribuan tahanan politik di pulangkan ke rumah mereka. Pak Naro menjadi salah satu diantaranya. Ia pun memutuskan pulang kembali ke Temanggung, kota tempat kelahirannya. 

Sayang, ketika pulang ia melihat semuanya sudah berubah. Ia sendirian. Malah, Pak Naro sempat kebingungan karena tak tahu ia harus tinggal dimana, dan bersama siapa. Ia seperti seorang yang baru datang dari tempat lain, jauh sekali, dan memulai kehidupan baru dengan beban masa lalu.

Sementara itu, pulang tidak memberinya kebahagiaan. Pulang justru membuat ia bertanya: apa yang harus ia lakukan. Ia tak memiliki pekerjaan. Ketrampilannya mengajar juga tak mungkin lagi ia gunakan. Statusnya sebagai Eks-Tapol dan cap "PKI" yang melekat padanya membuat hak-haknya dicabut. Hak politik dan hak warga negara!!!

Beruntung, Pak Naro akhirnya ditolong oleh kebaikkan keluarganya. Ia kemudian menghabiskan masa tua dalam banyang-bayang masa lalu yang tidak saja berat, tetapi menyisakan trauma mendalam. 

Kini, yang dipunyai Pak Naro hanyalah kisah masa lalu. Meskipun, kisah itu merubah hidupnya dari seorang guru menjadi tahanan politik dan orang buangan, ia tetap bangga ketika mengisahkan pengalamannya sebagai seorang guru. Memang kebanggaan yang tidak seberapa. Tapi, baginya, ia pernah menjadi bagian dari pejuang untuk kemajuan bangsanya. 

(kisah ini saya tulis dari pertemuan saya dengan beliau pada tahun 2010 silam. Sekarang saya tidak tahu keberadaan beliau. Saya sangat terkesan, dengan pengetahuannya yang luas. Di masa tuanya, ia masih sempat membaca buku, seingat saya, buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer)

 

twitter @lekmuchlis

Kunjungi www.berandaesai.blogspot.com

 

Sumber Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun