Mohon tunggu...
Muchlis
Muchlis Mohon Tunggu... -

Sangat tertarik dengan sejarah, sastra, dan budaya. Kunjungi: www.berandaesai.blogspot.com dan @lekmuchlis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Film The Years of Living Dangerously: Memahami Peristiwa 1965 dari Perspektif “Barat”

1 Oktober 2015   11:17 Diperbarui: 1 Oktober 2015   11:49 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal berbeda dalam film ini, yang mungkin sulit ditemukan dalam narasi sejarah Indonesia periode 1965, adalah gambaran tentang kondisi rakyat Jakarta yang dilanda kemiskinan, kelaparan, mahalnya biaya kesehata, dan banyaknya gelandangan yang bersileweran di jalanan. Billy Kwan, sang fotografer yang doyan menyambangi perkampungan kumuh di pinggiran kota mendapati kondisi rakyat yang menyedihkan.

Penceritaan kondisi rakyat ini sangat kontras dengan kehidupan glamor Presiden Sukarno yang diagung-agungnya rakyatnya sebagai “dewa penyelamat”. Sementara Sukarno bersikeras membangun monumen-monumen yang mewakili cita-citanya untuk membangkitkan kebanggaan nasional, rakyat Indonesia hidup dalam kemiskin. Gambaran kondisi rakyat yang menyedihkan yang dikontraskan dengan gaya hidup pejabat Indonesia yang glamor dan kerap ikut dalam pesta-pesta di kedutaan asing hampir-hampir bisa dikatakan luput dalam narasi historiografis yang diliputi hingar bingar politik periode demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin lebih sering dilihat sebagai periode pertempuran politik antara militer, Sukarno, dan PKI. Namun, film The Years of Living Dangerously, lebih dari sekedar menampilkan setting politik untuk melatarbelakangi peristiwa 1965. Peristiwa 1965 adalah puncak ketika Indonesia berada pada kemerosotan ekonomi yang paling menyedihkan. Krisis ini ditambah dengan ketidakpedulian pemerintahan Sukarno terhadap rakyat yang setiap hari dicekoki jargon revolusi tetapi hidup dalam kelaparan.

Narasi The Years og Living Dangerously memang belum bisa menjawab latar belakang peristiwa G 30S. Namun, film ini bisa menjadi pengkayaan untuk melihat dalam posisi seperti apa Barat melihat Indonesia di bawah pemerintahan Sukarno. Poin yang bisa diambil bukan terletak pada narasi G30S itu sendiri, melainkan kondisi rakyat yang sudah kadung “sakit” dilanda kemiskinan. Periode demokrasi terpimpin pun bisa dilihat tidak lebih dari sebuah pemerintahan dengan janji-janji, jargon politik, pembangunan monumen-monumen agung, korupsi, ketimbang pemerintahan yang peduli pada kesejahteraan rakyat sebagai sebuah cita-cita.

Yogyakarta, 17 September 2013

*) Sumber Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun