Satu-satunya periode sejarah Indonesia yang paling banyak dibicarakan dan paling sulit untuk dijelaskan oleh para sejarawan adalah situasi politik menjelang G30 September 1965. G30 September yang dikenal sebagai gerakan pengambilalihan kekuasaan itu hingga sekarang masih menyisakan misteri.
Kendati telah banyak buku sejarah yang mencoba menjelaskan peristiwa ini, jawaban final mengenai siapa dalang dibalik peristiwa tersebut tak pernah tuntas. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Namun, tak ada satu pun versi yang pernah dianggap benar-benar mewakili kesahihan rekaman masa lalu kecuali versi sejarah yang tulis pemerintahan Suharto selama lebih dari 30 tahun.
Kembali kebelakang ketika Suharto menuliskan versi sejarahnya. Rezim yang dibangun dari reruntuhan pemerintahan Sukarno pada tahun 1966 ini, sejak awal telah mencipta narasi sejarah mereka sendiri. Suharto yang kala itu mendapat dukungan penuh dari militer, dengan segera mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) berada dibalik G30 September. Klaim tersebut segera menjadi propaganda militer, tidak hanya untuk menyingkirkan PKI dari pusaran politik secara sistematis, tetapi juga menjadi bekal dikemudian hari untuk membenarkan tindakan-tindakan tentara terhadap mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI.
Selama 32 tahun versi sejarah ini pun dipertahankan di atas upaya pembungkaman atas versi sejarah lainnya. Versi sejarah yang ditulis para sejarawan asing “diberangus”. Sejarah peristiwa G30 S pun lebih identik dengan G30S/PKI dengan judul besar “Penghiatan PKI”.
Proyek sejarah yang kemudian digarap rezim Suharto untuk mengenang peristiwa ini adalah sebuah film yang disutadarai oleh Arifin C. Noor. Film yang digarap tahun 1970-an ini mendapat sponsor penuh dari negara. Isinya sudah bisa ditebak. Film berdurasi lebih dari 3 jam tersebut seperti sebuah penguat atas narasi G30S dengan PKI sebagai dalang utamanya. Selama Suharto berkuasa, film ini mendapatkan tempatnya untuk selalu diputar setiap malam 30 September –persis seperti malam ketika terjadi penculikan terhadap 7 jendral di Jakarta. Rezim memutar film tersebut di televisi nasional sebagai bentuk peringatan sekaligus imbauan bahaya komunisme.
Di luar film tersebut, sebuah film berjudul “The Yeras of Living Dangerously” mengambil latarbelakang peristiwa yang sama. Film yang dibintangi Mel Gibson ini mengambil setting Kota Jakarta pada tahun 1965 menjelang peristiwa G 30S. Mel Gibson memerankan tokoh Guy Hamilton, seorang jurnalis Australia yang bekerja untuk Australia Broadcast Service. Tugas sebagai jurnalis yang memburu berita --disaat kebebasan pers di Indonesia sedang dibatasi oleh pemerintahan Sukarno-- membuat Hamilton frustasi. Beruntung ia bertemu Billy Kwan, seorang fotografer Australia yang telah lama tinggal di Indonesia. Billy membantu Hamilton berhubungan dengan tokoh-tokoh penting Indonesia, diantaranya D.N Aidit.
Hamilton merupakan representasi jurnalis Barat yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan situasi politik Indonesia. Sejak Sukarno mengendalikan pemerintahan di bawah payung demokrasi terpimpin, negara-negara Barat seperti Amerika dan Inggris tak pernah luput mengawasi perubahan konstelasi politik saat itu. Perhatian di arahkan ke Indonesia karena haluan politik Sukarno secara tidak langsung membawa Indonesia memasuki pusaran perang dinging antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kendati secara teoritis Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif, Amerika menganggap Sukarno cenderung condong mendukung blok Komunis Soviet. Kampanye anti-kapitalis dan anti-imperialisme yang digaungkan Sukarno serta kedekatan pemimpin besar revolusi tersebut dengan pemerintah Cina, mengundang kecurigaan Amerika.
Hari-hari Hamilton disibukkan dengan perkembangan situasi politik Indonesia yang terpecah menjadi tiga faksi utama saat itu, yakni Sukarno, militer, dan PKI.
Jalan cerita The Year of Living Dangerously berpuncak pada peristiwa G30S. Film tersebut menggambarkan bom waktu konflik politik ketiga fraksi yang meletus dengan adanya pengambilalihan kekuasaan oleh gerakan tersebut. G30S menurut versi film ini adalah konspirasi antara PKI, Sukarno, dan pemerintah Cina.
Sebelum peristiwa G30S, film tersebut mengambarkan persetujuan Sukarno mempersenjatai masyarakat sipil yang nantinya dimasukan ke dalam angkatan kelima. Kelompok paramiliter sipil tersebut awalnya diusulkan ketua PKI, D.N. Aidit. Tak lama setelah usulan itu, dikabarkan pemerintah Cina sukses menyelundupkan senjata ke Indonesia.
Narasi yang diciptakan film ini tak berbeda jauh dengan versi “Penghianatan PKI”. PKI dan Cina diposisikan menjadi aktor utama di balik upaya mengambilalih kekuasaan. Angkatan kelima dan kudeta ditempatkan sebagai bagian dari upaya PKI merebut kekuasaan dan mengganti ideologi negara menjadi negara komunis. Film tersebut juga menggambarkan kesiapan PKI membuat daftar nama orang-orang yang akan dibunuh. Hamilton, si jurnalis Australia, juga masuk ke dalam salah satu nama yang akan dibunuh.
Setting Peristiwa 1965
Film The Years of Living Dangerously memang sangat kental dengan nuansa Amerika. Tak hanya artis yang memerankan beberapa tokoh –dan kenyataan bahwa film tersebut di buat di Filipina, narasi dalam film tersebut menggambarkan PKI sebagai partai pengacau yang siap menggambil alin kekuasaan negara. Selain itu, PKI juga digambarkan sebagai partai yang sangat anti-Barat. Klaim yang melekat pada PKI ini nampak ketika massa partai berlambang palu arit menyerang kedutaan besar Amerika Serikat.