Mohon tunggu...
Muchlis Fatahilah
Muchlis Fatahilah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Belajar. Agar tidak jadi budak di Negeri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penggunaan Tagar Sebagai Cyberculture, dalam Mengawal Isu Klitih di Yogyakarta

2 Januari 2022   01:15 Diperbarui: 2 Januari 2022   02:28 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Kompas.com

            

Beberapa minggu belakangan ini, masyarakat kembali dihebohkan dengan adanya fenomena klitih yang terjadi di Yogyakarta. Klitih pada awalnya hanya diartikan sebagai kegiatan jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin maraknya kegiatan semacam itu, maka makna klitih agak berubah menjadi kegiatan melukai atau menciderai seseorang di jalan dan biasanya dilakukan pada malam hari dengan maksud sengaja maupun tidak disengaja. 

Hal yang lebih mengherankan lagi bahwa pelaku klitih ini bukanlah orang dewasa melainkan anak dibawah umur atau masih sekolah.  Sejatinya, fenomena klitih bukan kali pertama terjadi di Yogyakarta. Pada tahun 2016 (Subagja:2017) merilis bahwa pada akhir tahun polda DIY mencatat ada 43 kejadian klitih di Yogyakarta. Sedangkan pada tahun 2018 sedikitnya sebanyak 71 pelaku klitih berhasil ditangkap dan seluruhnya adalah pelajar. 

Kemudian, belakangan ini terdapat beberapa kejadian yang membuat isu klitih ini menjadi ramai diperbincangkan di media sosial khususnya twiteer. Sebagai contoh, sebuah akun twiteer dengan nama @kinderpoyyy yang menceritakan pengalamannya saat menjadi korban klitih di akun twiteernya. Hal ini nampaknya membuat netizen semakin geram dengan masalah klitih yang terjadi sehingga tagar #YogyaTidakAman dan #SriSultanYogyaDaruratKlitih sempat menjadi trending no satu dan  mencapai 24 ribu tweet pada tanggal 28 Desember 2021.

Dalam mengawal isu klitih di Yogyakarta, masyarakat mulai memilih menyuarakan keresahannya melalui media sosial. Hal ini dianggap lebih mudah, cepat dan efisien dalam pengawalan isu tersebut. Terlebih, kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini agaknya mulai memudar. 

Hal ini disampaikan oleh Phutut EA @Phututea kepala suku Mojok.co dalam sebuah tweet. “Naikkan tagar  #SriSultanYogyaDaruratKlitih  Biar Gubernur Yogya turun tangan. Berpuluh tahun  masalah yang meresahkan masyarakat terjadi, banyak korban jiwa, tapi Pemda tidak melakukan tindakan yang jelas” Ungkapnya. 

Perlu diketahui, bahwa tagar merupakan fitur yang dapat digunakan netizen untuk mengecek topic yang sedang hangat (Kusuma, dalam Tamburian 2015). Urutan paling atas merupakan topic berita yang sedang ramai dan urutan paling bawah adalah yang tidak terlalu ramai. Fungsi dari tagar adalah sebagai kata kunci yang dapat membantu netizen untuk melakukan pencarian dan memudahkan dalam membahas sesuatu (Small, 2011). 

Dengan menambahkan tanda #(pagar) dan disertai kata kunci tanpa menggunakan spasi, twiteer akan dengan sendirinya menampilkan berita dan komentar dari kata kunci tersebut. Manfaat dari tagar ini tentunya menjadi sebuah wacana yang terus dibahas, menjadi berita besar dan mendorong media lain untuk mengkaji lebih mendalam, bahkan menjadi perhatian untuk para stakeholder dan berujung adanya perubahan sosial sesuai yang diinginkan.

 Kegiatan menaikkan tagar #YogyaTidakAman dan #SriSultanYogyaDaruratKlitih ini menjadi suatu kajian yang cukup menarik. Karena menurut penulis, fenomena menangkat tagar tertentu dengan berbagai narasi yang dilandasi atas keresahan dan kegelisahan sekelompok orang terhadap sesuatu merupakan cyberculture yang cukup efisien dalam memviralkan suatu permasalahan keranah publik. 

Cyberculture sendiri merupakan sebuah budaya baru yang lahir sebab adanya ruang siber. Perlu difahami bersama bahwa budaya siber dan budaya nyata ini adalah dua hal yang berbeda. Budaya siber tidak dapat langsung kita terima menjadi bagian dari kehidupan nyata. Karena, budaya siber merupakan bentukan dan konstruksi dari identitas virtual kita. Hal ini didasarkan atas pendapat dari Pierre Levy (2001) seorang ahli computer yang menyatakan bahwa Budaya siber adalah budaya internet . Yakni, budaya yang lahir karena interaksi masyarakat dengan internet. Sedangkan menurut David Bell Cs (2007) budaya internet adalah paradigma berpikir dan berinteraksi melalui teknologi informasi.

Dengan munculnya budaya siber ‘menaikkan tagar’, tentunya menjadi hal yang cukup memudahkan masyarakat dalam mengawal beberapa kasus, termasuk kasus klitih di Yogyakarta. Masyarakat yang sebelumnya memiliki keresahan maupun permasalahan harus melapor ke Kepolisian agar dapat ditangani. Kini, dengan menggunakan tagar tertentu, sebuah isu dapat dengan mudah viral dan menjadi isu nasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun