Mohon tunggu...
Muchlis Fatahilah
Muchlis Fatahilah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Belajar. Agar tidak jadi budak di Negeri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Bersama Nenek, Pemuda Semanu Lolos Seleksi Polri

6 Desember 2021   14:33 Diperbarui: 6 Desember 2021   14:38 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Febrianto dan Mbah Landep didepan Rumah

Keringatnya bercucuran dalam suasana terik matahari di Polres Gunungkidul. Badannya yang tergolong tinggi dengan jersey bertuliskan “Tamtama Polri Gelombang 1 Th. 2021” membuatnya terlihat gagah dari biasanya. Sesekali ia tersenyum, meski tak jarang wajahnya tampak kelelahan. 

Tak ada satu kata yang terucap selain kata “Siap”. Berlari, sit-up dan push-up dijalaninya dengan penuh semangat guna mempersiapkan diri untuk pendidikan Tamtama Polri dibulan Februari mendatang, setelah sebelumnya ia dinyatakan lolos pada sidang akhir Tamtama tahun 2021.

Febrianto, Pemuda yang lahir 21 tahun silam, tumbuh dan dibesarkan oleh seorang nenek yang begitu tulus merawatnya sedari kecil. Ibunya telah meninggalkan Febri untuk selama-lamanya lantaran sakit yang diderita. Sedangkan, ayah Febri kini telah memiliki keluarga dan tinggal dikota yang berbeda. 

“Ibu meninggal saat saya baru kelas 2 SD, kemudian nenek membawa saya ke Semanu. Katanya biar punya teman” Jelas Febrianto. 

Nenek Febri atau yang lebih akrab disapa mbah Landep bukanlah orang yang berkecukupan. Sebelumnya, ia adalah seorang buruh tani yang bekerja bahkan sampai lintas kecamatan. 

“Aku mbien buruh tani tekan Tepus karo Rongkop, kui we mlaku. (Aku dulu bekerja tani sampai kecamatan Tepus dan Rongkop dengan berjalan kaki)” Ungkap mbah Landep sembari menanak nasi.

Akan tetapi karena faktor usia, mbah Landep kini sudah tidak lagi mampu berjalan jauh. Kesibukannya kini hanya mencari makan untuk dua ekor kambing dan satu ekor sapinya disekitar rumah.

Febrianto dan Mbah Landep didepan Rumah
Febrianto dan Mbah Landep didepan Rumah

 Impian Febri untuk menjadi seorang Polisi sudah ada sejak ia lulus SMP. Kala itu, tujuannya melanjutkan studi ke jenjang SMA hanya agar cita-citanya bisa tercapai. Wajar saja, karena syarat minimal menjadi anggota Polri adalah lulusan SMA sederajat. 

“Sebenarnya setelah lulus SMP, nenek menyuruh saya bekerja karena sudah tidak ada biaya. Tapi Alhamdulillah, saya ditawari oleh seorang guru SMA untuk masuk ke Pesantren saja secara gratis” Kata Febri. 

Selama tiga tahun di Pesantren, ia benar-benar mempersiapkan segalanya, terutama soal fisik dan beberapa persyaratan masuk Polri. Meskipun, setelah lulus SMA ia tidak segera mendaftar, melainkan mencoba beberapa pekerjaan untuk menopang kehidupannya dengan sang nenek. 

Beberapa pekerjaan yang dilakukan Febri setelah lulus seperti membantu jasa pemasangan wifi, sound system dan LED di salah satu perusahaan di Yogyakarta. Selama satu tahun bekerja, ia malah mendapatkan tawaran untuk melanjutkan kuliah di Institut Teknik Yogyakarta dengan beasiswa full study dari seorang teman. Tentu saja kesempatan itu tak mungkin ia lewatkan. 

“Saya mendapat beasiswa di ITY dengan prodi Teknik Industri. Saya yakin ini adalah rezeki, meskipun keinginan saya tetap menjadi seorang abdi negara” Imbuh Febri.

Impian tetaplah impian, dan harus diperjuangkan. Ketika semester 4, Febri mencoba mendaftar Bintara Polri meskipun hasilnya tidak sesuai harapan. Kedua, ia juga mencoba Tamtama Angkatan Udara, dan ini kali kedua ia hampir putus asa memperjuangkan cita-citanya. Terakhir, ia mendaftar Tamtama Polri dengan berbagai keterbatasan yang ia miliki, terutama dari segi ekonomi. Banyak sekali rintangan yang ia hadapi, tak sedikit kesulitan yang ia temui, namun banyak pula keajaiban dan rezeki yang datang menghampiri. Contohnya saja, saat ia membutuhkan surat perwalian di notaris, yang biayanya sekitar 500-700 ribu, tak disangka sang notaris memberikan surat tersebut secara cuma-cuma. 

“Banyak sekali hal yang menurut saya tidak mampu saya lakukan, namun selalu dipermudah” Ungkapnya. 

Febri juga menceritakan bahwa dalam proses seleksi selalu dibutuhkan surat keterangan telah swab antigen dengan biaya sekitar 200 ribu. Padahal dalam satu bulan bisa 2 sampai 3 kali. Tak jarang, ia juga kebingungan untuk mencari biaya swab tersebut. Bahkan, ia mengaku pernah menjual beras bantuan kepada tetangganya, karena benar-benar tidak ada uang.

 Ramuan antara usaha, do’a dan tak berhenti mencoba, akhirnya melebur menjadi hal yang luar biasa. Pada bulan Juli 2021 nampaknya menjadi hari bersejarah bagi Febri. Karena, buah dari upaya hebatnya selama ini terjawab di hari itu. 

“Alhamdulillah saya bisa lolos seleksi secara sportif tanpa ada orang dalam atau permainan uang, yang kerap dikaitkan dengan seleksi polri saat ini” Kata Febri dengan penuh rasa syukur. 

Terakhir, Febri berpesan bahwa mungkin kesempatan tidak datang dua kali, tapi kesempatan datang pada mereka yang tak pernah berhenti mencoba. Disamping itu, jangan pernah melupakan do’a dalam setiap usaha yang dilakukan. Keajaiban itu datang ketika kita dekat dengan sang pencipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun