Sertifikat profesi itu lebih banyak untuk keperluan formal birokrasi seperti pencairan tunjangan, legalisasi kelembagaan atau kegiatan. Sementara selama ini penceramah tidak membutuhkan legalisasi formal dari lembaga manapun.Â
Laku atau tidaknya seorang penceramah ditentukan oleh kecocokan atau selera masyarakat kepada sosok penceramah tersebut. Selama masyatakat merasa cocok dengan gaya dan materi ceramahnya, selama itu pula penceramah menjadi laku dimasyarakat.
Artinya kualitas penceramah bersifat kultural, tidak bisa dibatasi, diintervensi dan dipaksakan. Hanya alam atau selera masyarakat yang bisa mengatakan penceramah itu layak atau tidak layak.
Solusi
Menghindari polemik yang berkepanjangan, lebih baik program yang akan dilaksanakan kemenag tidak perlu menggunakan istilah sertifikat apa lagi sertifikasi.Â
Cukup dengan nama pelatihan atau peningkatan kompetensi penceramah. Sertifikat yang diberikan kepada peserta bukan sebagai indikasi kualitas atau kelayakan penceramah tetapi hanya sebagai bukti keikutsertaan (partisipasi) dalam program kegiatan. Semoga dengan cara seperti ini polemik menjadi selesai dan kemenag bisa lebih konsentrasi maksanakan program kegiatan peningkatan kompetensi penceramah atau penyuluh agama.Â
Penulis adalah Dosen IAIN Kudus yang dimutasi ke IAIN Purwokerto karena mengungkap dugaan korupsi jual beli jabatan pada tahun 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI