Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ulama Menjadi Wapres, Catatan Sangat Penting dan Mendasar

13 Agustus 2018   19:05 Diperbarui: 13 Agustus 2018   19:21 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keinginan para politisi untuk menggandeng Ulama dalam pertarungan Pilpres 2019 jadi kenyataan, setelah kubu petahana (Joko Widodo) bersama 9 partai koalisi  hari kamis 9 agustus 2018 jam 20.00 wib  secara resmi mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2019 bersama calon wakil presiden dari seorang ulama kharismatik yang juga sebagai Rais 'Am Syuriah PBNU dan Ketua umum MUI yaitu Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin. Dalam konferensi pers, Jokowi menyatakan bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin (JMA) pasangan saling melengkapi antara Nasionis-Religius.

 Kubu koalisi partai penantang (Prabowo), setelah mengalami proses yang cukup alot, pada hari yang sama  jam 23.30 wib akhirnya mendeklarasikan Prabowo Subiyanto sebagai capres berpasangan dengan Sandiaga Shalahudin Uno sebagai cawapres.  Dalam deklarasi, ketua PKS Sohibul Iman salah satu partai pengusung menyatakan bahwa duet Prabowo -Sandiaga Uno selain hasil ijtima ulama, pasangan capres-cawapres ini gabungan karakter kepemimpinan nasionalis dengan Islam atau santri. Mungkin publik belum banyak yang tahu, bahwa mas Sandiaga Uno ini adalah santri yang hidup dan mewakili kalangan santri millenial. Tegas ketua PKS saat diminta menyampaikan pidato singkat dalam deklarasi di jalan Kertanegara Jakarta.

 Ulama sebagai "harga mati" bagi kedua kubu yang akan "bertarung" dalam pilpres 2019. Bedanya, kubu Jokowi menggandeng figur Ulama secara formal struktural organisasi sebagai wapresnya sedangkan kubu prabowo ulama diposisikan sebagai forum musyawarah (ijtima ulama) untuk memperoleh inspirasi atau mengambil keputusan.
Mengapa harus ulama?

Setidaknya ada 3 ( tiga) alasan yang menguatkan mengapa ulama menjadi wakil presiden. Pertama, alasan historis. Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan meraih kemerdekaan yang menjadi tonggak berdirinya negara kesatuan republik Indonesia ( NKRI), para ulama memiliki peran sangat besar. 

Sebut saja, KH. Wahid Hasyim ( NU), Ki Bagus Hadikusumo ( Muhamadiyah), Teuku Muhammad Hasan (Ulama Aceh), Abdoel Kadir ( ulama Kalimantan). Para ulama berjibaku merumuskan Pancasila dan UUD 1945 sehingga terwujud keutuhan NKRI sampai sekarang.

Kedua, alasan ideologis. Realitas bangsa Indonesia berada dalam dua ideologi besar yaitu kelompok nasionalis dan kelompok religius. Kuatnya bangsa Indonesia disebabkan kuatnya jalinan kerjasama dua ideologi dalam membangun bangsa Indonesia.

Ketiga, alasan politis. Pertama dan utama yang harus diperoleh dalam pilpres adalah dukungan atau perolehan suara terbanyak. Ulama di prediksi akan mampu mendongkarak perolehan suara masing masing pasangan. Kalangan nahdliyin  (warga NU) dan pesantren dipastikan suaranya akan di berikan kepada pasangan JMA, dengan ditambah kelompok nasionalis. 

Hitungan diatas kertas pasangan JMA memiliki peluang besar memenangkan pilpres yang akan di gelar bulan april 2019. Sedangkan bagi kelompok Prabowo di perkirakan juga akan selalu menggunakan forum forum ulama ( GNPF) yang sudah terjalin mesra sejak pilkada DKI Jakarta. Lengkap sudah ulama akan menjadi issu terseksi dalam pilpres tahun 2019.

Dibutuhkan atau di Manfaatkan?

Pertanyaan ini cukup menggelitik. Dalam kontestasi Pilpres 2019, Ulama benar benar dibutuhkan ataukah hanya dimanfaatkan sebagai pendongkrak perolehan suara.

Dibutuhkan atau di manfaatkan, sekurang kurangnya dapat dilihat dari dua hal. Pertama, aspirasinya muncul dari bawah (bottom up), atau dari atas (stop down). artinya jika aspirasinya muncul dari arus bawah berarti ulama benar benar dibutuhkan, sebaliknya jika aspirasi muncul dari kalangan elit saja berarti ulama hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

 Kedua, perlakuan terhadap ulama dilakukan secara kontinyu ataukah  sesaat atau periodik.  Ulama bisa dikategorikan dibutuhkan sebagai capres manakala saat menduduki jabatan diberi kewenangan secara jelas dan terus menerus sampai periode jabatanya selesai. Ingat dalam Undang Undang  Dasar 1945, tidak dijelaskan tentang tugas dan wewenang wakil presiden. 

Hasil amandemen ke-1 sampai ke-4 UUD 1945 hanya ada satu pasal yang menjelaskan tentang posisi wakil presiden, yaitu Bab III Pasal 4 ayat 2 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, yang berbunyi, "Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden". Pasal lain yang menyebut secara eksplisit tentang presiden dan wakil presiden hanya berkaitan dengan mekanisme pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian. Struktur kelembagaan negara juga tidak mengenal lembaga Wakil Presiden.

 Tugas dan wewenang wakil presiden sangat bergantung pada kearifan seorang presiden. Artinya, jika presiden memberi mandat atau kewenangan maka wakil presiden akan memiliki tugas dan kewenangan yang jelas. Sebaliknya jika presiden tidak memberi mandat dan kewenangan maka hal itu juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 Presiden bisa menarik atau mencabut kewenangan yang telah diberikan kepada wakil presiden jika diangap tidak loyal atau tidak mampu menjalankan tugas yang diberikan. Wakil presiden harus "sendika dhawuh" atau loyal kepada presiden jika ingin memiliki kewenangan yang jelas untuk ikut mengatur dan menentukan arah kebijakan pembangunan negara dan pemerintahan.

 Berbeda dengan wakil presiden, seorang presiden memiliki kewenangan sangat kuat, tegas, dan terperinci berdasarkan amanah UUD 1945. Di antaranya, memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 ayat 1), mengangkat dan memberhentikan menterimenteri (Pasal 17 ayat 2), menetapkan peraturan pemerintahan (Pasal 5 ayat 2 ), membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 2), memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL dan AU (Pasal 10), dan masih banyak lagi kewenangan yang melekat kepada presdien.

Ulama hanya dimanfaatkan, jika perlakuan terhadap ulama hanya sesaat untuk mendongkark suara saja. Setelah memenangkan pertarungan, wakil presiden hanya difungsikan sebagai "ban serep", "pupuk bawang" (jawa), Wujudihi ka'adamihi (keberadaannya dianggap tidak ada) alias hanya simbolis saja. Semoga hasil Pilpres 2019 nanti benar benar mampu membuktikan bahwa ulama tidak sekedar di manfaatkan tetapi benar benar dibutuhkan oleh bangsa dan negara.

Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd Peneliti Tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) Jawa Tengah, Pemerhati Sosial Agama dan Politik, Dosen IAIN Kudus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun