Keinginan para politisi untuk menggandeng Ulama dalam pertarungan Pilpres 2019 jadi kenyataan, setelah kubu petahana (Joko Widodo) bersama 9 partai koalisi  hari kamis 9 agustus 2018 jam 20.00 wib  secara resmi mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2019 bersama calon wakil presiden dari seorang ulama kharismatik yang juga sebagai Rais 'Am Syuriah PBNU dan Ketua umum MUI yaitu Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin. Dalam konferensi pers, Jokowi menyatakan bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin (JMA) pasangan saling melengkapi antara Nasionis-Religius.
 Kubu koalisi partai penantang (Prabowo), setelah mengalami proses yang cukup alot, pada hari yang sama  jam 23.30 wib akhirnya mendeklarasikan Prabowo Subiyanto sebagai capres berpasangan dengan Sandiaga Shalahudin Uno sebagai cawapres.  Dalam deklarasi, ketua PKS Sohibul Iman salah satu partai pengusung menyatakan bahwa duet Prabowo -Sandiaga Uno selain hasil ijtima ulama, pasangan capres-cawapres ini gabungan karakter kepemimpinan nasionalis dengan Islam atau santri. Mungkin publik belum banyak yang tahu, bahwa mas Sandiaga Uno ini adalah santri yang hidup dan mewakili kalangan santri millenial. Tegas ketua PKS saat diminta menyampaikan pidato singkat dalam deklarasi di jalan Kertanegara Jakarta.
 Ulama sebagai "harga mati" bagi kedua kubu yang akan "bertarung" dalam pilpres 2019. Bedanya, kubu Jokowi menggandeng figur Ulama secara formal struktural organisasi sebagai wapresnya sedangkan kubu prabowo ulama diposisikan sebagai forum musyawarah (ijtima ulama) untuk memperoleh inspirasi atau mengambil keputusan.
Mengapa harus ulama?
Setidaknya ada 3 ( tiga) alasan yang menguatkan mengapa ulama menjadi wakil presiden. Pertama, alasan historis. Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan meraih kemerdekaan yang menjadi tonggak berdirinya negara kesatuan republik Indonesia ( NKRI), para ulama memiliki peran sangat besar.Â
Sebut saja, KH. Wahid Hasyim ( NU), Ki Bagus Hadikusumo ( Muhamadiyah), Teuku Muhammad Hasan (Ulama Aceh), Abdoel Kadir ( ulama Kalimantan). Para ulama berjibaku merumuskan Pancasila dan UUD 1945 sehingga terwujud keutuhan NKRI sampai sekarang.
Kedua, alasan ideologis. Realitas bangsa Indonesia berada dalam dua ideologi besar yaitu kelompok nasionalis dan kelompok religius. Kuatnya bangsa Indonesia disebabkan kuatnya jalinan kerjasama dua ideologi dalam membangun bangsa Indonesia.
Ketiga, alasan politis. Pertama dan utama yang harus diperoleh dalam pilpres adalah dukungan atau perolehan suara terbanyak. Ulama di prediksi akan mampu mendongkarak perolehan suara masing masing pasangan. Kalangan nahdliyin  (warga NU) dan pesantren dipastikan suaranya akan di berikan kepada pasangan JMA, dengan ditambah kelompok nasionalis.Â
Hitungan diatas kertas pasangan JMA memiliki peluang besar memenangkan pilpres yang akan di gelar bulan april 2019. Sedangkan bagi kelompok Prabowo di perkirakan juga akan selalu menggunakan forum forum ulama ( GNPF) yang sudah terjalin mesra sejak pilkada DKI Jakarta. Lengkap sudah ulama akan menjadi issu terseksi dalam pilpres tahun 2019.
Dibutuhkan atau di Manfaatkan?
Pertanyaan ini cukup menggelitik. Dalam kontestasi Pilpres 2019, Ulama benar benar dibutuhkan ataukah hanya dimanfaatkan sebagai pendongkrak perolehan suara.
Dibutuhkan atau di manfaatkan, sekurang kurangnya dapat dilihat dari dua hal. Pertama, aspirasinya muncul dari bawah (bottom up), atau dari atas (stop down). artinya jika aspirasinya muncul dari arus bawah berarti ulama benar benar dibutuhkan, sebaliknya jika aspirasi muncul dari kalangan elit saja berarti ulama hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.