Mayoritas bangsa Indonesia menghendaki peran ulama lebih nyata dalam urusan politik kekuasaan. Hal ini didasarkan asumsi bahwa kekuasaan atau politik yang dibangun atas dasar fondasi agama yang luhur dan santun akan mampu menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat.Â
Setidaknya busa mengkonter pendapat  Lord Acton yang mengatakan bahwa "the power tends to corrupt, and the absolute power tends to corrupt absolutely" artinya "sebuah kekuasaan itu cenderung merusak (korup), dan kekuasaan yang absolut cenderung merusak (korup) secara absolut".
Ulama masuk dalam pusaran kekuasaan merupakan sebuah keniscyaan bahkan keharusan. Hal ini sudah dipraktikan sejak zaman Rasululah, para sahabat dan pengikut selanjutnya. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihanya , peran ulama ikut mengawal kebijakan kekuasaan akan memiliki kemaslahatan bagi masyarakat (umat).
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menandaskan bahwa agama (ulama) Â berperan penting dalam kehidupan sosial politik (kekuasaan), yaitu sebagai kekuatan perukun, penyatu, dan pengutuh masyarakat besar.
Jokowi sebagai calon presiden petahana nampaknya sadar akan hal ini, sehingga akhirnya menggandeng Prof. KH. Ma'ruf Amin Rois 'Am Syuriah PBNU dan juga Ketua Umum MUI serta Pakar ekonomi Syariah menjadi calon wakil presidennya.Â
Pertanyaannya, mampukah keberadaan ulama sebagai wapres mampu berperan mewujudkan idealisme kekuassan seperti yang harapkan masyarakat Indonesia, yaitu terwujudnya kekuasaan yang adil, menyejahterakan masyarakat secara merata dan benar benar mampu mengkontrol dan membimbing kekuasaan dalam membuat kebijakan yang memihak kepada rakyat.
Saya tidak meragukan kapasitas dan kapabilitas  serta integritas sosok Prof. KH. Ma'ruf Amin dalam mengabdi untuk bangsda dan negara. Segudang pengalaman sudah dimiliki oleh ulama kharismatik asal Jawa Barat yang masih memiliki keturunan dari ulama besar KH. Nawai al Bantani yang pernah menjadi imam besar masjidil haram Makkah Arab Saudi.
Saya ingin melihat  dari sudut pandang posisi sebagai wakil presiden. Apakah seseorang (ulama sekelas KH. Ma'ruf Amin sekalipun ) akan mampu berbuat secara optimal jika berada dalam posisi sebagai wakil presiden?. Tulisan ini akan mencoba mengkritisi posisi wakil presiden terkait engan kewenangan dan tugas yang dimiliki, sehingga akan dapat disimpulkan apakah Lembaga wakil presiden benar benar optimal sebagai lahan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara serta agama.
Posisi Wakil Presiden
Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen (perubahan) ke  1 (satu) sampai ke 4 (empat), hanya ada 1 (satu) pasal yang menjelaskan tentang posisi Wakil Presiden  yaitu pasal Bab III pasal 4 ayat 2 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, berbunyi " Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden". Pasal lain yang menyebut secara eksplisit tentang Presiden dan Wakil Presiden hanya berkaitan dengan mekanisme pencalonan, pengangkatan dan pemberhentian.
Struktur kelembagaan negara juga tidak mengenal lembaga Wakil Presiden. Menurut Undang Undang Dasar 1945 lembaga negara di Indonesia terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),  Mahkmah Agung (MA) dan  Mahkamah Konstitusi (MK).