UAS pasti mengetahui, memahami dan menyadari karakter yang sebenarnya dalam dirinya, mubaligh ataukah politisi (Cawapres). Jika  UAS menyadari bahwa karakter yang sebenarnya  sebagai seorang mubaligh maka dorongan, rayuan bahkan "paksaan" untuk menjadi Cawapres dianggap sebuah reputasi yang sifatnya sementara sehingga UAS tidak akan menerima tawaran sebagai cawapres. Sebaliknya jika UAS menganggap bahwa karakter dirinya adalah politisi, maka tawaran sebagai cawares akan diterima.
Menerima "lamaran" sebagai cawapresnya Prabowo Subiyanto secara langsung ataupun tidak langsung telah menutup dirinya untuk bisa dimilik semua umat. Bersedia menjadi cawapresnya Prabowo, berarti  telah mendeklarasikan bahwa dirinya hanya milik pendukungnya Prabowo. Apabila pasangan Prabowo-UAS menang dalam pilpres maka kesempatan berdakwah UAS melalui ceramah agama berkurang bahkan bisa dikatakan hilang.Â
Waktu UAS habis untuk menyelesaikan  politik kekuasaan dan persoalan kebangsaan.  Apa bila pasangan Prabowo-UAS kalah, bangsa Indonesia mencatat bahwa UAS adalah mubaligh kelompok Partai pendukung Prabowo yang di asumsikan tidak bisa netral dalam mensikapi problematika bangsa Indonesia. Setiap pilihan atau keputusan selalu ada resikonya, semuanya terpulang pada hati nurani UAS sendiri. Selamat beristikharah.
Dr. M. Sekan Muchith, S.Ag, M.Pd Dosen IAIN Kudus dan Peneliti Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME) Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H