Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beragama WhatsApp

9 Juni 2018   06:09 Diperbarui: 10 Juni 2018   08:02 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Man Yuridi allahi bihi  Khoeron Yufaqqihu Fi al Dien ( Barang siapa yanag di kehendaki mendapatkan kebaikan maka belajar untuk memahami agama). Bunyi hadis tersebut memberikan pemahaman kepada kita semua khususnya umat Islam bahwa jika seseorang itu akan memperoleh kebaikan maka mereka akan memiliki motivasi tinggi untuk belajar memahami agama. Ingat belajar untuk memahami agama, bukan belajar untuk menghafal atau mengetahui agama.

Terminologi memahami berbeda jauh dengan menghafal dan mengetahui. Menghafal menekankan kemampuan daya mengingat kembali apa yang dilihat, sedangkan mengetahui  menekankan kepada kemampuan optimalisasi kerja otak/pikiran/akal (kognitif). Sedangkan memahami menekankan pada kemampuan mememiliki cara pandang secara utuh dan komprehensif.

Utuh berarti mampu melihat dari berbagai aspek atau pendekatan  (multi approach). Komprehensif berarti mengerti secara detail dan apa yang diketahui benar benar diaplikasikan dalam kehidupan sosial.

Belajar memahami agama harus dilakukan dengan ustadz/kiai yang benar benar memiliki wawasan agama yang utuh dan komprehensif. Belajar memahami agama perlu dukungan sistem dan waktu yang memadahi. Belajar memahami agama perlu penjelasan dari guru atau teman yang memiliki wawasan yang mendalam. 

Belajar agama tidak cukup hanya sekadar membaca ayat dan hadis kemudian dipahami dan ditafsirkan sesuai keinginan sendiri. Kenapa demikian? Agama memiliki ruanglingkup dan pesan yang sangat luas yang memerlukan cara pandang yang sesuai dengan situasi dan kondisi (kontekstual). Mayoritas ayat dan hadis saat turun pasti memiliki latar belakang sosial yang berbeda beda.

Kalitas beragama tidak hanya dilihat dari berapa lama belajar agama di pondok pesantren, berapa banyak santri atau murid yang dimiliki. Kualitas beragama lebih dimaksudkan kualitas komitmen dalam melaksanakan nilai nilai dan ajaran Agama kedalam kehidupan bermasyarakat. Artinya beragama seseorang dianggap  baik apabila memiliki kesesuaian antara yang diketahui, diyakini dan yang diamalkan (dipraktikkan).

Beragama yang ideal akan  mengamalkan semua ajaran Islam baik amalan yang bersifat personal (individual), kolektif (sosial). Artinya orang dikatakan beragama jika memiliki konsistensi dan komitmen terhadap pesan ajaran Islam sehingga terwujud kepribadian manusia sempurna (insan kamil) dalam artian Islam atau agama tidak hanya sekedar keyakinan atau ideologi melainkan sebagai spirit dalam menjalani kehidupan (way of life).

Sekarang ini ada program yang menjadikan komunikasi antar manusia sangat mudah, simpel dan cepat. Salah satu program bernama WhatsApp atau disingkat WA yaitu suatu aplikasi instan yang memungkinkan antar sesama manusia melakukan transaksi atau kiriman berupa pesan, file, gambar, video, foto dan obrolan secara online.

Menurut data yang dipublikasikan oleh ComScore, sampai bulan maret 2007, terdapat 1 milyar orang di dunia dan 35,8 juta orang di Indonesia setiap hari menggunakan aplikasi WA sebagai sarana komunikasi antar sasama.

Saking mudahnya menerima informasi melalui WA, akhirnya belajar agama juga hanya cukup dilakukan melalui WA. Mengetahui tentang ayat dan hadis diperoleh lewat kiriman WA dari teman. Mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang (haram) atau diperintahkan (halal) juga infor melalui kiriman WA. Mendapatkan bagaimana sikap dan pendapat para  tokoh, kai dan ulama juga cukup lewat WA.

Lebih memperihatinkan lagi materi atau pesan yang diperoleh lewat WA tanpa ada klarifiaksi atau tabayyun tentang kebenaran dan keasliannya. Sehingga mudahs ekali muncul informasi atau kabar bohong (hoaxs). Implikasi dari menafikan atau meninggalkan tabayun/klarifiaksi tentang kebenaran informasi yang diperoleh lewat WA, menjadikan pemahaman beragama sempit, tekstualis, yang ujung ujungnya merasa dirinya paling benar dan mudah menyalahkan orang lain yang dianggap tidak sama dengan apa yang diketahui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun