Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Eks Koruptor Dilarang "Nyaleg", Rakyat Setuju, Bagaimana dengan MA?

30 Mei 2018   14:25 Diperbarui: 30 Mei 2018   14:33 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur mantan nara pidana (napi) Korupsi atau biasa disebut koruptor maju sebagai calon legeslatif menimbulkan pro kontra ditengah tengah masyarakat. Wacana itu terus menggelinding keberbagai arah seperti bola liar dalam pertandingan di lapangan hijau.

Anehnya, dari kalangan elit politik seperti anggota DPR yang terhormat dan partai besar yang sudah establish rame rame menolak dengan berbagai argumen regulatif. Sementara dari elemen masyarakat bawah dan LSM mendukung sepenuhnya rencana KPU tersebut, karena dianggap bisa melahirkian wakil rakyat yang bersih dari korupsi.

Aneh, suara wakil rakyat seringkali berbeda dengan suara yang diwakili (rakyat).  Apakah ini pertanda  wakil rakyat sudah tidak menjadi  representasi dari rakyat? Atau mungkin wakil  rakyat terlalu cerdas (berwawaan luas) sehingga apa yang dipikirkan tidak bisa di ikuti /pahami oleh rakyatnya sendiri.

Sudah menjadi komitmen bangsa Indonesia, bahwa segala macam Tindak pidana yang berkaitan dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi musuh bersama seperti yang dicanangkan dalam agenda reformasi tahun 1998. Korupsi tidak hanya bertentangan dengan pesan agama. Korupsi juga tidak hanya merugikan keuangan negara.

Ada yang paling urgen bahwa korupsi jelas merusak nilai nilai kepribadian bangsa Indonesia.  Artinya korupsi tidak hanya menyangkut persoalan aturan atau regulasi ( perundang undangan), justru yang paling penting korupsi berkaitan dengan etika atau moralitas bangsa Indonesia.

Melihat persoalan korupsi tidak bisa hanya dilihat dari perspektif legal formal, tetapi harus dilihat dari perspektif etik moral. Konsekuensinya, merespon atau mensikapi rencana KPU melarang mantan napi korupsi tidak bisa hanya di sikapi dengan melihat kesesuaian dengan regulasi yang ada di Indonesia seperti Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Lebih dari itu yaitu dilihat dari semangat atau komitmen KPU untuk menegakkan amanah reformasi agar mampu melahirkan wakil rakyat yang bersih dan bebas dari praktik korupsi. Rencana KPU dapat dikatakan rencana yang sangat mulia dan perlu didukung oleh seluruh elemen bansga Indoensia. Meskipun demikian, Indonesia adalah negara hukum dimana proses regulasi penjadi panglima. Siapapun diperbolehkan berbeda pendapat asalkan dilakukan melalui prosedur yang sah dan dan sesuai dengan undang undang.

Sudah dapat diprediksi, langkah KPU mengeluarkan PKPU yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon legeslatif akan di gugat pihak pihak yang berkepentingan ke jalur hukum yaitu di Mahkamah Agung (MA). Dalan herarkhi perundang udanngan, MA merupakan lembaga untuk mencari keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Sesuai nafas atau karakter lembaag MA, diisi oleh para ahli dan praktisi hukum yang melihat perssoalan dari perspektif hukum positif atau legal formal. Jika hanay perspektif legal formal yang dijadikan landasan MA , maka akan ada peliuang besar PKPU akan di batalkan oleh MA.Kecuali jika MA melakukan proses peradilan selain melihat legal formal juga memprihatikan etika politik yang berkembang ditengah tengah masyarakat.

Yang jelas seluruh elemen masyarakat arus bawah sangat mendukung langkah KPU yang melarang mantan napi ikut maju sebagai calon legeslatif di pemilu tahun 2019. Kita dari arus bawah jangan terlalu senang terlebih dahulu, karena keputusan KPU bisa juga di batalkan oleh MA, sehingga kita tidak akan bisa mendapat wakil wakil rakyat yang benar benar bersih dari praktik yang berkaitan dnegan tindak pidana korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Semoga MA melihat persoalan ini lebih banyak dari aspek etika (Sosiologi) hukum dari pada legal formal hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun