Mohon tunggu...
Muchammad Imron
Muchammad Imron Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Legal Drafter

Hanya seorang manusia yang tertarik di bidang hukum, sosial dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sikap Hakim Dalam Menerapkan Asas Equality Before The Law

31 Desember 2024   22:45 Diperbarui: 1 Januari 2025   00:51 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini publik diramaikan dengan kasus tambang timah yang terbukti telah merugikan negara sebesar Rp. 300 triliun, dan Harvey Moeis sebagai tersangka yang terbukti telah melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dijatuhkan hukuman penjara selama 6 tahun 6 bulan, dan juga dijatuhi denda sebesar Rp. 1 milyar subsider 6 bulan penjara, serta pidana tembahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 210 milyar subsider 2 tahun penjara. Yang mana putusan majelis hakim tersebut menjadi sorotan publik, karena dirasa tidak sesuai antara kerugian yang ditimbulkan dengan hukuman yang dijatuhkan, terlebih lagi putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Sebagaimana dilansir dari website hukumonline.com, sebelumnya tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) berupa pidana penjara 12 tahun, denda Rp. 1 milyar subsider 1 tahun penjara, dan uang pengganti sebesar Rp. 210 milyar subsider 6 tahun penjara. Kasus tersebut terus menjadi perhatian publik karena besarnya kerugian negara yang diakibatkan dalam kasus tambang timah yang merusak lingkungan alam dan pencucian uang yang dilakukan oleh Harvey Moeis.

Dalam kasus ini, majelis hakim menjadi sorotan publik, dari biografi hingga harta kekayaan yang dimilikinya, berbagai macam reaksi masyarakat terhadap majelis hakim mendapatkan perhatian oleh Komisi Yudisial untuk mendalami adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).

Berbicara mengenai sikap hakim, seketika teringat kisah Abu Nawas yang mendapatkan wasiat dari ayahnya, syekh Maulana, yang menjadi seorang qadhi (hakim) pada masa kerajaan Harun Ar-Rasyid. Syekh Maulana dikenal sebagai orang yang alim dan bijaksana di wilayah Baghdad sehingga menjadi qadhi (hakim) yang disayangi oleh sultan Harun Ar-Rasyid.

Disaat syekh Maulana sedang sakit parah, beliau meminta Abu Nawas untuk mendekatinya dan mencium kedua telinga ayahnya,  dan setelah Abu Nawas mencium kedua telinga ayahnya, Abu Nawas berkata bahwa telinga yang kanan aroma wangi akan tetapi telinga yang kiri tercium aroma busuk, maka ayahnya menceritakan suatu kejadian, pada suatu hari ada dua orang datang untuk mengadukan masalah kepada qadhi Maulana, yang seorang didengarkan keluhannya, dan seorang satunya dihiraukan keluhannya karena qadhi Maulana tidak senang kepada orang tersebut, dan menurut syekh Maulana, inilah resiko menjadi qadhi. Dari kisah tersebut dapat menjadi suatu pengingat bahwa menjadi seorang hakim harus menangani dengan bijak dan dengan memperhatikan kedua pihak.

Seorang hakim disebut sebagai wakil Tuhan, karena ditangan seorang hakim hukuman atau sanksi itu ditentukan, sebaiknya seorang hakim bersikap adil tanpa harus berpihak kepada siapapun, sikap adil adalah salah satu etika seorang hakim yang disebutkan dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Sikap adil yang dilakukan oleh hakim menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum, tanpa ada perbedaaan atau perilaku istimewa terhadap salah satu pihak, sebagaimana asas hukum yang sering kita dengar “Equality before the law” yaitu persamaan dihadapan hukum, dan juga tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Maka oleh karena itu, bagi majelis hakim dalam menangani suatu perkara, tidak boleh membeda-bedakan atau karena suka atau tidak suka kepada individual, tanpa harus memandang suku, ras bahkan agamanya, akan tetapi semua diperlakukan sama, memiliki hak dan akses yang sama terhadap hukum.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat untuk diri pribadi serta para praktisi hukum, dan juga lebih memperhatikan kode etik profesi hukum, sehingga dapat bersikap adil dan bijak dalam membantu menyelesaikan permasalahan.

Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan kasus tambang timah yang terbukti telah merugikan negara sebesar Rp. 300 triliun, dan Harvey Moeis sebagai tersangka yang terbukti telah melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dijatuhkan hukuman penjara selama 6 tahun 6 bulan, dan juga dijatuhi denda sebesar Rp. 1 milyar subsider 6 bulan penjara, serta pidana tembahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 210 milyar subsider 2 tahun penjara. Yang mana putusan majelis hakim tersebut menjadi sorotan publik, karena dirasa tidak sesuai antara kerugian yang ditimbulkan dengan hukuman yang dijatuhkan, terlebih lagi putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Sebagaimana dilansir dalam website hukumonline.com, sebelumnya tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) berupa pidana penjara 12 tahun, denda Rp. 1 milyar subsider 1 tahun penjara, dan uang pengganti sebesar Rp. 210 milyar subsider 6 tahun penjara. Kasus tersebut terus menjadi perhatian publik karena besarnya kerugian negara yang diakibatkan dalam kasus tambang timah yang merusak lingkungan alam dan pencucian uang yang dilakukan oleh Harvey Moeis.

Dalam kasus ini, majelis hakim menjadi sorotan publik, dari biografi hingga harta kekayaan yang dimilikinya, berbagai macam reaksi masyarakat terhadap majelis hakim mendapatkan perhatian oleh Komisi Yudisial untuk mendalami adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun